“...Seminggu Setelah
Kepergianmu...”
Tak ada lagi kamu yang
memenuhi kotak inbox di handphone-ku. Tak ada lagi sapamu sebelum tidur yang
membuncah riuh. tak ada lagi sapamu setiap pagi untuk sekedar menanyakan
kabarku, sedang apa? Sudah makan? Jangan lupa shalat ya? Dll. Tak ada lagi
canda tawa kita dalam bentuk tulisan di pesan singkat. Tak ada lagi
perhatianmu, kekhawatiranmu, kecemasanmu dan kabarmu. Tanpamu...semua berbeda
dan tak lagi sama.
Aku membuka mata dan
berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau tak ada
kamu yang memenuhi hari-hariku. Seringkali aku terbiasa melirik ke layar
handphone, namun tak ada lagi sapaanmu setiap pagi, siang, sore, dan malam
sebelum tidur dengan beberapa emote kiss dan smile yang memasok energiku. Ada
sesuatu yang hilang.
Lalu, aku menjalani
semua aktivitasku, seperti biasa, kamu tentu tahu itu. Dulu, kamu memang selalu
mengerti kegiatan dan rutinitasku. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang
berperan aktif dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan singkat yang
mengingatkan untuk makan, shalat, dan mandi juga. Bukan masalah besar memang,
aku mandiri dan sangat tahu hal-hal yang harusnya aku lakukan. Tapi... kamu
tentu tahu, tak mudah mengikhlaskan perpisahan.
Rasa ini begitu absurd
dan sulit untuk dideskripsikan. Kamu membawa jiwaku melayang ke negeri
antah-berantah, dan mengasingkan aku ke dunia yang bahkan tak kuketahui. Aku
bercermin, memerhatikan setiap lekuk wajahku. Aku tak mengenal sosok di dalam
cermin itu. Tak ada aku dalam cermin yang kuperhatikan sejak tadi. Aku berbeda
dan tidak lagi mengenal siapa diriku. Seseorang yang kukenal di dalam tubuhku
kini menghilang secara magis setelah kepergian kamu. Kamu merampas habis cinta
yang kupunya, melarikannya ke suatu tempat yang sulit kujangkau. Entah dimana
aku bisa menemukan diriku yang telah hilang itu. Entah bagaimana caranya
mengembalikan sosok yang kukenal itu kedalam tubuhku. Aku kebingungan dan
kehilangan arah.
Ingin rasanya aku
melempari segala macam benda agar bisa memecahkan cermin itu. Agar aku tak bisa
lagi melihat diriku yang tak lagi kukenal. Agar aku tak perlu menyadari
perubahan yang begitu besar terjadi setelah kehilangan kamu. Aku bisa berhenti
mempercayai cinta jika terlalu sering tenggelam dalam rasa frustasi seperti ini.
Aku mungkin akan berhenti mempercayai lawan jenis dan segala janji-janji
tololnya. Siksaanmu terlalu besar untukku, aku terlalu lemah untuk merasakan
semua rasa sakit yang telah kau sebabkan.
Aku benci pada
perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu harus ada yang terluka, sementara
yang lainnya bisa saja bahagia ataupun tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka.
Kita seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti
saling memendam dendam, tanpa tahu apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis
sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar cinta dan sayang. Kamu tertawa
sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah harus kusebut apa.
Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit itu. Aku merasa
sangat kehilangan, sementara kamu tidak sama sekali. Bagaimana mungkin aku
harus menyebut semua adalah wujud kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu,
dan begitu mudahnya kamu melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang
tak pantas kau lukai?
Jam bergati hari, dan
semua berputar... tetap berotasi. Aku jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu.
Aku tak menyangka, begitu mudahnya kau melupakanku. Begitu gampangnya kamu
melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi otakmu saja, apa
kamu tak pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di hatiku? Atau...
mungkin saja tak punya hati?
Tak banyak hal yang
bisa kulakukan, selain mengikhlaskan. Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan,
selain membiarkanmu pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya
berusaha menikmati luka, hingga aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada.
Kepergianmu yang tak beralasan, kehilangan yang begitu menyakitkan, telah
menjadi candu yang kunikmati sakitnya.
Aku mulai suka air mata yang seringkali jatuh
untukmu. Aku mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku
mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang kau ciptakan selama ini.
Terima kasih Mr. Emon ku.
Dengan luka seperti ini. Dengan rasa sakit sedalam ini. Aku
jadi tambah sering menulis. Lebih banyak dari biasanya.
Aku semakin percaya, bahwa Kahlil Gibran butuh rasa sakit
agar ia bisa menulis banyak hal.
Sama seperti aku, butuh rasa sakit agar bisa lancar
menulis... terutama yang bercerita tentangmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar