Kamis, 06 Maret 2014

"...Seminggu Setelah Kepergianmu..."



“...Seminggu Setelah Kepergianmu...”
Tak ada lagi kamu yang memenuhi kotak inbox di handphone-ku. Tak ada lagi sapamu sebelum tidur yang membuncah riuh. tak ada lagi sapamu setiap pagi untuk sekedar menanyakan kabarku, sedang apa? Sudah makan? Jangan lupa shalat ya? Dll. Tak ada lagi canda tawa kita dalam bentuk tulisan di pesan singkat. Tak ada lagi perhatianmu, kekhawatiranmu, kecemasanmu dan kabarmu. Tanpamu...semua berbeda dan tak lagi sama.
Aku membuka mata dan berharap hari-hariku berjalan seperti biasanya, walau tanpamu, walau tak ada kamu yang memenuhi hari-hariku. Seringkali aku terbiasa melirik ke layar handphone, namun tak ada lagi sapaanmu setiap pagi, siang, sore, dan malam sebelum tidur dengan beberapa emote kiss dan smile yang memasok energiku. Ada sesuatu yang hilang.
Lalu, aku menjalani semua aktivitasku, seperti biasa, kamu tentu tahu itu. Dulu, kamu memang selalu mengerti kegiatan dan rutinitasku. Namun, sekarang tak ada lagi kamu yang berperan aktif dalam siang dan malamku. Tak ada lagi pesan singkat yang mengingatkan untuk makan, shalat, dan mandi juga. Bukan masalah besar memang, aku mandiri dan sangat tahu hal-hal yang harusnya aku lakukan. Tapi... kamu tentu tahu, tak mudah mengikhlaskan perpisahan.
Rasa ini begitu absurd dan sulit untuk dideskripsikan. Kamu membawa jiwaku melayang ke negeri antah-berantah, dan mengasingkan aku ke dunia yang bahkan tak kuketahui. Aku bercermin, memerhatikan setiap lekuk wajahku. Aku tak mengenal sosok di dalam cermin itu. Tak ada aku dalam cermin yang kuperhatikan sejak tadi. Aku berbeda dan tidak lagi mengenal siapa diriku. Seseorang yang kukenal di dalam tubuhku kini menghilang secara magis setelah kepergian kamu. Kamu merampas habis cinta yang kupunya, melarikannya ke suatu tempat yang sulit kujangkau. Entah dimana aku bisa menemukan diriku yang telah hilang itu. Entah bagaimana caranya mengembalikan sosok yang kukenal itu kedalam tubuhku. Aku kebingungan dan kehilangan arah.
Ingin rasanya aku melempari segala macam benda agar bisa memecahkan cermin itu. Agar aku tak bisa lagi melihat diriku yang tak lagi kukenal. Agar aku tak perlu menyadari perubahan yang begitu besar terjadi setelah kehilangan kamu. Aku bisa berhenti mempercayai cinta jika terlalu sering tenggelam dalam rasa frustasi seperti ini. Aku mungkin akan berhenti mempercayai lawan jenis dan segala janji-janji tololnya. Siksaanmu terlalu besar untukku, aku terlalu lemah untuk merasakan semua rasa sakit yang telah kau sebabkan.
Aku benci pada perpisahan. Entah mengapa dalam peristiwa itu harus ada yang terluka, sementara yang lainnya bisa saja bahagia ataupun tertawa. Kamu tertawa dan aku terluka. Kita seperti saling menyakiti, tanpa tahu apa yang patut dibenci. Kita seperti saling memendam dendam, tanpa tahu apa yang harus dipermasalahkan.
Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya, atas dasar cinta dan sayang. Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya, atas dasar... entah harus kusebut apa. Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu yang terlampau rumit itu. Aku merasa sangat kehilangan, sementara kamu tidak sama sekali. Bagaimana mungkin aku harus menyebut semua adalah wujud kesetiaan? Begitu sulitnya aku melupakanmu, dan begitu mudahnya kamu melupakanku. Inikah caramu menyakiti seseorang yang tak pantas kau lukai?
Jam bergati hari, dan semua berputar... tetap berotasi. Aku jalani hidupku, tentu saja tanpa kamu. Aku tak menyangka, begitu mudahnya kau melupakanku. Begitu gampangnya kamu melupakan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu isi otakmu saja, apa kamu tak pernah memikirkan mendung yang semakin menghitam di hatiku? Atau... mungkin saja tak punya hati?
Tak banyak hal yang bisa kulakukan, selain mengikhlaskan. Tak ada hal yang mampu kuperjuangkan, selain membiarkanmu pergi dan tak berharap kamu menorehkan luka lagi. Aku hanya berusaha menikmati luka, hingga aku terbiasa dan akan menganggapnya tak ada. Kepergianmu yang tak beralasan, kehilangan yang begitu menyakitkan, telah menjadi candu yang kunikmati sakitnya.
Aku  mulai suka air mata yang seringkali jatuh untukmu. Aku mulai menikmati saat-saat napasku sesak ketika mengingatmu. Aku mulai jatuh cinta pada rasa sakit yang kau ciptakan selama ini.
Terima kasih Mr. Emon ku.
Dengan luka seperti ini. Dengan rasa sakit sedalam ini. Aku jadi tambah sering menulis. Lebih banyak dari biasanya.
Aku semakin percaya, bahwa Kahlil Gibran butuh rasa sakit agar ia bisa menulis banyak hal.
Sama seperti aku, butuh rasa sakit agar bisa lancar menulis... terutama yang bercerita tentangmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar