Rabu, 05 Maret 2014

"...Cinta Tak Butuh Pengorbanan..."



“...Cinta Tak Butuh Pengorbanan...”
Aku dan Kamu
Yang belum
Sempat menjadi KITA
~JR~
Saya masih mengurusi luka yang tergores beberapa minggu yang lalu. Luka yang saya obati sendiri, dengan jemari saya sendiri, dengan perjuangan sendiri. Di hidup ini, harus ada yang datang dan pergi, agar saya paham arti singgah dan menetap. Di hidup ini, harus ada yang tinggal dan menghilang, agar saya tahu yang terbaik pastilah yang tetap tinggal dan tidak akan menghilang; kecuali jika Allah mengizinkan “kehilangan”.
Saya tak tahu bahwa kebodohan saya bisa begitu berlipat ganda. Saya tak yakin jika ini semua saya lakukan karena saya mencintai dia. Rasanya sangat sulit melupakan sosok yang saya harapkan tetap tinggal tapi ternyata dia pergi. Sungguh sangat berat menghilangkan seseorang yang saya kira akan menetap tapi pada akhirnya dia pergi. Saya, sebagai manusia biasa, hanya bisa berharap pada setiap pertemuan, dan berdoa agar perpisahan tak cepat-cepat merenggut dia dari genggaman saya. Sebagai manusia yang serba terbatas, saya hanya mampu menjaga, saya tak tahu kapan ia akan pergi, kapan dia akan meninggalkan saya.
Perkenalan yang saya pikir akan berujung bahagia ternyata berakhir dengan siksa. Sekarang, saya tak lagi menangisi kehilangan, saya hanya bingung mengapa pertemuan yang begitu singkat bisa memunculkan kesan yang mendalam. Kadang, saya tak sadar, bahwa ketika bibir seseorang mengucap “hai” sebenarnya saat itu juga saya harus siap pada banyak risiko; risiko kehilangan. Dunia ini penuh teka-teki, sebagai manusia yang mencoba menjawab dengan perasaan dan otak yang terbatas, kadang saya hanya bisa menangkap isyarat-isyarat kecil saja.
Dengan membawa sisa hati yang remuk, saya disadarkan oleh kicauan Sudjiwo Tedjo, salah satu sosok yang saya kagumi. Jemarinya yang ajaib menulis “Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kamu mulai berasa berkorban, saat itu juga cintamu mulai pudar.” Ah, betapa kalimat ini begitu menyentak saya. Memang, seringkali ketika berbuat untuk seseorang, manusia menyebut hal itu adalah pengorbanan. Begitu juga ketika saya mencintai dia. Saya tak tahu pasti apakah saya memang berkorban untuk dia atau sakit hati saya terlalu besar, hingga pada akhirnya, setelah saya dan dia tak lagi bersama, saya menyatakan diri bahwa saya telah berkorban banyak untuknya. Apakah cinta saya pudar?
Saya sedang merapikan hati saya yang patah. Mencoba menyambungkan mozaik-mozaik yang terlepas karena kebodohan saya sendiri. Lalu, saya berpikir sekali lagi, apakah benar cinta saya padanya telah pudar? Iya, sekarang sudah pudar, karena pada akhirnya saya merasa berkorban untuknya. Pada akhirnya, saya, yang sedang berusaha menghilangkan cinta, mengingat banyak perbuatan, yang (tiba-tiba) saya sebut pengorbanan. Apakah cinta saya tak tulus?
Pengorbanan biasanya dilakukan meskipun kamu kesakitan. Tapi, ketika jatuh cinta; ketika kau masih terbangun tengah malam saat kau menunggunya menyelesaikan tugas, manakala pesan singkatnya kau nanti – kau tak pernah merasa disakiti. Semua dilakukan atas dasar cinta, kau mencintainya maka kau bersedia menunggunya.
Kau mencintainya, maka kau izinkan dirimu terus menanti, meskipun pada akhirnya dia tak menjadikanmu tujuan. Bukankah air matamu untuknya tetap kau pandang sebagai keindahan, kau menangis karena mencintainya, bukan karena kau merasa berkorban.
Lucu, ya, betapa kata pengorbanan yang sering kita anggap sepele ternyata bisa begitu magis ketika digali. Saya sudah sering disakiti begini. Sudah tahu rasanya dicintai, namun pada akhirnya dia memilih pergi. Sudah tahu rasanya diterbangkan tinggi, namun tiba-tiba dihempaskan bagitu saja. Lantas, walaupun kita seringkali merasa disakiti, mengapa rasa sakit itu tak pernah membuat kita kapok untuk jatuh cinta lagi?
Betapa kekuatan cinta bisa membebaskan kita dalam banyak hal, melupakan “rasa sakit” yang seringkali diucapkan orang-orang sekitar kita, ketika mereka menasehati; bahwa segalanya harus diakhiri. Ya, cinta soal keikhlasan, tak pernah merasa berkorban. Cinta tak butuh alasan, karena ketika pada akhirnya kau temukan alasan untuk mencintainya, maka cintamu pudar.
Cinta tak butuh pengorbanan. Apapun yang kau lakukan untuknya adalah dasar karena kau inginkan dia bahagia. Termasuk ketika kau ikhlaskan dia untuk pergi bersama yang lain, namun wirid dan doamu masih mengiringinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar