Rabu, 05 Maret 2014

Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-Zakat Dalam Islam



Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam
Oleh: Norlaila Hayati; Norhikmah


A.    Pendahuluan
Kebijakan fiskal dan anggaran belanja dalam Islam memiliki prinsip untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.  Dari semua kitab agama zaman dahulu, Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran.  Kegiatan-kegiatan yang menambah pengeluaran harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu dalam kerangka umum hukum Islam seperti ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sejalan dengan adanya suatu perekonomian dan agar lebih berkembang, perlu adanya suatu kebijakan yang diadakan oleh pemerintah, baik itu tindakan maupun strategi supaya ekonomi yang sedang berjalan diupayakan terus maju, tanpa adanya suatu kelemahan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya inflasi, pengangguran dan lain sebagainya. Tetapi apabila pendapatan pemerintah berkurang maka pemerintah juga harus mengurangi pengeluaran. Orang berpandangan bahwa pemerintah haruslah menjalankan kebijakan fiskal seimbang atau anggaran belanja seimbang, yaitu pengeluaran haruslah sesuai atau sama dengan pendapatannya.
Dari paparan di atas kami sebagai penulis merasa perlu untuk mengkajiulang masalah kebijakan pengeluaran negara dalam Islam. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kaidah belanja negara dalam Islam, analisis kebijakan pengeluaran non-zakat sepanjang sejarah dalam Islam, serta analisis kebijakan pengeluaran non-zakat di masa kontemporer.

B.     Pembahasan
1.      Kaidah Belanja Negara Dalam Islam
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal di mana pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah dikumpulkan. Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula maka negara bisa menggerakkan perekonomian yang ada di masyarakat.[1]
Pemerintah diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan papan, khusus ditujukan kepada warga negara miskin.[2]
Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam melakukan distribusi anggaran negara dapat mengancam keberadaan negara seperti yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam, di mana kesalahan dalam melakukan kebijakan anggaran menyebabkan kemunduran dan kehancuran negara, baik karena menyebabkan negara menjadi lemah, juga karena terjadinya pertikaian intern.[3]
Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah syar’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadis dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antara kaidah tersebut adalah:[4]
a.       Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
b.      Menghindari masyaqqoh[5] kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
c.       Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum.
d.      Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
e.       Kaidah “al-giurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).
f.       Kaidah “mā lā yatimmu al-wājibu illā bihi fahuwa wājib” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam pemerintahan Islam, yaitu:[6]
a.       Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b.      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
c.       Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e.       Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian:[7]
a.       Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c.       Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syar’iyyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara rinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada:[8]
a.       Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
b.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c.       Tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti kasus “al-hima”.[9]
d.      Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
e.       Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau jizyah[10] atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya.[11]
Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi tidak langsung seperti pemberian bantuan secara cuma-cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung.[12]

2.      Analisis Kebijakan Pengeluaran Non-Zakat Sepanjang Sejarah Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Ia sangat tegas menolak pembelanjaan yang bertentangan dengan syariah. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:[13]
1)      Kaum miskin dan yang membutuhkan.
2)      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
3)      Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
4)      Pensiun dan gaji pegawai.
5)      Pendidikan.
6)      Infrastruktur.
7)      Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran.[14] Untuk penerimaan dari ganīmah[15] peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fai[16] pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik lainnya. Adapun untuk ganīmah ditentukan 4/5 bagian untuk yang pergi berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-Nya dalam hal ini adalah negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.[17]
Pengeluaran dana fai menurut Ibnu Taimiyah di antaranya untuk dua tujuan: Pertama, melindungi kehidupan masyarakat dari serangan baik dari dalam maupun dari luar. Kedua, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Jika ganīmah tidak cukup untuk membiayai kebutuhan orang miskin dapat dibiayai dari fai. Adapun biaya pengeluaran lainnya menurut Ibnu Taimiyah meliputi:[18]
1)      Biaya pejabat pemerintah dibiayai oleh fai.
2)      Menggaji qadi ( hakim) sebagai petugas yang menjaga keadilan.
3)      Fasilitas pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat yang baik dan terdidik.
4)      Fasilitas publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat disediakan secara individu harus disediakan oleh negara seperti jembatan, bendungan, dan lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukkan ke dalam bait al-māl,[19] lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama Islam, pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan.[20]
a.       Kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Rasulullah
Pada masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan pengeluaran hampir tidak ada. Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan yang dikerjakan tidak mendapatkan upah, tidak ada tentara formal. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya. Untuk mengelola pengeluaran negara maka Rasulullah menyerahkannya kepada bait al-māl dengan menganut asas anggaran berimbang. [21]
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah menerapkan jizyah dan juga kharāj.[22] Pada hakikatnya, kedua sistem pajak tersebut, yakni jizyah dan kharāj, sudah ada pada masa kekaisaran Romawi dalam bentuk yang sama.[23] Sistem pajak lainnya yang diadopsi Rasulullah adalah usyr.[24]
Adapun catatan mengenai pengeluaran negara yang secara rinci  pada masa Rasulullah juga tidak tersedia. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar.[25]
Pengeluaran negara selama masa pemerintahan Rasulullah meliputi untuk hal-hal pokok seperti biaya pertahanan negara, penyaluran usyr untuk mereka yang berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang negara serta bantuan untuk musafir. Sedangkan untuk hal yang sifatnya sekunder diperuntukkan bagi orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan dan utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.[26]
Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan pengeluaran non-zakat yang berlandaskan keadilan, sejak masa awal pemerintahan Islam. Setelah Rasulullah wafat, kebijaksanaan pengeluaran non-zakat itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para penerusnya.[27]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Rasulullah sudah sangat bagus. Karena dalam meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan pengeluaran non-zakat beliau menerapkan keadilan.
b.      Kebijakan pengeluaran non-zakat  pada masa pemerintahan Khulafa Rasyidun
1)      Khalifah Abu Bakar As-Siddiq (11 H-13 H/573-575 M)
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Siddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama.[28] Ketika terpilih sebagai khalifah, Abu Bakar pernah berkata: “Seluruh kaum Muslimin telah mengetahui bahwa hasil perdaganganku tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, sekarang aku dipekerjakan untuk mengurus kepentingan kaum muslimin.” Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan menggunakan harta bait al-māl. Abu Bakar diperbolehkan mengambil 2,5 atau 3/4 dirham[29] setiap harinya dari bait al-māl dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. [30]
Namun demikian, beberapa waktu menjelang ajalnya, Abu Bakar banyak menemui kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan negara sehingga ia menanyakan berapa banyak upah atau gaji yang diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannya sebesar 8000 dirham,[31] ia langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya dan seluruh hasil penjualannya diberikan kepada negara.[32]
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah SAW.[33] Dalam mendistribusikan harta bait al-māl tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dan wanita.[34]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq juga bagus. Karena Khalifah Abu Bakar As-Siddiq melaksanakan kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah SAW.
2)      Khalifah Umar bin Al-Khattab (13 H-23 H/575-585 M)
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab, dia mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta bait al-māl sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana cadangan.[35]
Secara garis besar, pengeluaran negara pada masa kekhalifahan Umar dikeluarkan untuk kebutuhan yang mendapat prioritas, di antaranya adalah pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik muslim maupun non-muslim. Dana tersebut juga termasuk pensiunan bagi pegawai sipil.[36]
Seperti halnya dilakukan oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggungjawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan muslim, membayar diyat[37] orang-orang tertentu serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi bait al-māl dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[38]
Pengeluaran non-zakat menurut sumber pendapatannya adalah sebagai berikut:[39]
a)      Usyr (pajak tanah); disimpan di bait al-māl dan akan dibagikan kepada delapan asnaf.
b)      Khums dan sedekah; didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi apakah dia muslim atau non-muslim.
c)      Kharāj; disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan umat.
d)     Fai, jizyah, usyr (pajak perdagangan) dan sewa tanah; untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta menutupi biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dalam bait al-māl. Dana pada bait al-māl adalah milik kaum muslim, sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pada saat itu negara mulai menjalankan fungsinya sebagai penjamin kesejahteraan rakyat khususnya bagi orang miskin dengan program jaminan sosial. Orang-orang Mekkah (bukan Muhajirin) diberi tunjangan 800 dirham,[40] warga Madinah 25 dirham,[41] muslim di Yaman, Syria, Irak 200 hingga 300 dirham,[42] anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing 100 dirham.[43] Tambahan pensiun untuk kaum muslim adalah gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah tetap. Kuantitas dan jenis barang berbeda-beda di tiap wilayah.[44]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah Umar bin Al-Khattab  juga bagus. Karena Khalifah Umar bin Al-Khattab juga menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Selain itu, Khalifah Umar bin Al-Khattab juga menambahkan beberapa pengeluaran lain seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.
3)      Khalifah Usman ibn Affan (23 H-35 H/585-597 M)
Khalifah Usman adalah seorang dari beberapa orang terkaya di antara beberapa sahabat Nabi. Beliau tidak mengambil upah dari bait al-māl, sebaliknya Usman malah menyimpan uangnya di bendahara negara. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman antara khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah satu sahabat Nabi terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan bait al-māl pusat. Pada perkembangan berikutnya keadaan ini bertambah rumit bersamaan dengan munculnya pertanyaan lain yang menimbulkan kontroversi mengenai ketidakhati-hatian pengeluaran uang bait al-māl.[45]
Ada beberapa kebijakan kontroversial yang dilakukan Khalifah yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Usman, yaitu:[46]
a)      Kebijakan untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-māl.
b)      Menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya.
c)      Kebijakan Usman ra, untuk memberikan tambahan gaji para pejabat negara, beberapa di antaranya memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah Usman ibn Affan sangat tidak adil. Karena Khalifah Usman ibn Affan dalam mengeluarkan uang bait al-māl sangat tidak hati-hati, dan memberikan harta bait al-māl untuk kerabatnya serta memberikan tambahan gaji para pejabat negara yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya saja.
4)      Khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H/597-602 M)
Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah setelah Usman terbunuh. Ali berkuasa selama lima tahun. Setahun pengangkatan dirinya, Ali kemudian melaksanakan kebijakan untuk mengganti pejabat-pejabat yang korup yang ditunjuk Usman, membuka kembali tanah-tanah perkebunan yang diberikan kepada orang-orang kesayangan Usman, serta mendistribusikan pendapatan sesuai dengan yang diatur Umar. Kebijakan ini mendapat perlawanan dari sebagian orang di antaranya adalah Muawiyah di Syria. Inilah awal dari pemberontakan Muawiyah terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[47]
Ali hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam mengelola keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta bait al-māl. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-māl dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pendapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait al-māl yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.[48]
Dalam alokasi pengeluaran, yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa Usman, oleh Ali dihilangkan, karena daerah sepanjang garis pantai seperti Syria, Palestina, dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah, sementara Muawiyah memberontak kepada Ali dengan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa independen di Syria. Adapun fungsi bait al-māl masih tetap seperti sebelumnya. Pada masa ini tidak ada perubahan yang berarti.[49]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib hampir sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Hanya saja dalam mengelola keuangan negara Ali bin Abi Thalib sangat ketat walaupun Ali bin Abi Thalib tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian bait al-māl.
c.       Kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Umayyah
Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi bait al-māl berubah. Jika pada masa sebelumnya bait al-māl dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, bait al-māl berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat. Pada masa Bani Umayyah, khususnya Umar bin Abdul Aziz, fungsi bait al-māl terus meluas. Tidak hanya menyalurkan dana tunjangan, tetapi juga dikembangkan dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana dan prasarana umum. Bahkan bait al-māl juga dipakai untuk membiayai proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Umar bin Abdul Aziz memiliki kebijakan pengelolaan keuangan negara yang relatif matang pada masanya. Hal ini dapat dilihat dari pengelolaan pendistribusian pengeluaran non-zakat yang meliputi belanja pegawai, belanja peralatan administrasi negara, dan pendidikan.[50]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Umayyah juga bagus, karena pada masa kekhalifahan Bani Umayyah bait al-māl terus meluas dan berkembang.

d.      Kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah
Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Ar-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.  Pada masa pemerintahannya, Khalifah melakukan diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun bait al-māl untuk mengurus keuangan negara. Seluruh pendapatan negara dimasukkan ke dalam bait al-māl dan dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan penerjemahan buku-buku Yunani, di samping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.[51]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah sudah sangat berkembang dengan pesat.

3.      Analisis Kebijakan Pengeluaran Non-Zakat di Masa Kontemporer
Di masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.[52]
Negara yang menganut demokrasi, biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum, tiap tahun, fakta anggaran belanja negara yang menganut demokrasi tersebut adalah bahwa anggaran belanja negara dinyatakan melalui peraturan yang disebut dengan peraturan anggaran belanja negara sekian tahunan. Kemudian ditetapkan sebagai peraturan setelah dibahas dengan parlemen.[53]
Anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau dari luar negeri.[54]
Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. Setiap warga negara harus menyumbang untuk keuangan negara sesuai dengan kemampuannya dari hasil pendapatannya. Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. [55]
Terangkum dengan jelas bahwa sistem perekonomian yang mengenai anggaran belanja, menjadi suatu perbedaan yang mendasar mengenai sistem anggaran belanja Islam dengan modern. Islam menitikberatkan pada masalah pelayanan terhadap urusan umat, yang telah diserahkan oleh syara’ dan ditetapkan sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran belanja modern lebih menekankan pada suatu campuran rumit antara rencana dan proyek.[56]
Kitab suci Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Sesungguhnya, bila kita memerhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW, tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan zaman modern.[57]
Dalam suatu negara Islam, yang menjadi dasar anggaran tidak lagi penerimaan yang akan menentukan jumlah yang tersedia bagi pengeluaran. Dalam negara Islam pengeluaran yang sangat dibutuhkanlah yang akan menjadi dasar dari anggaran. Di tahun belakangan ini, sejumlah bentuk baru anggaran telah berkembang, yang terpenting ialah anggaran berdasarkan program dan anggaran berdasarkan prestasi. Di negara Islam pada umumnya anggaran belanja berdasarkan program dan berdasarkan prestasi hanya dapat dilaksanakan bila terdapat prasarana administratif yang kuat dengan staf akuntan terdidik, ahli ekonomi, perencana, dan tenaga ahli lainnya.[58]

C.    Penutup
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai kebijakan pengeluaran instrumen non-zakat dalam Islam dalam makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahannya baik dari kesalahan penulisan, rangkaian kalimat dan penyusunan makalah. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah Keuangan Publik Islam, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang berhubungan dengan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharap kepada para pembaca dan dosen pembimbing mata kuliah ini dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan bagi pembaca.




Daftar Pustaka
Buku
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007.
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam; Konsep, Teori dan Analisis, Bandung, Alfabet, 2010.
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian, Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003, cet. ke-1.
Muhammad Saddam, Perspektif Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Ibadah, 2003.
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana, 2006.
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta, Kencana, 2012.
Nurul Huda, dkk., Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoretis, Jakarta, Kencana, 2009, cet. ke-2.

Internet
Bani Pamungkas, Kebijakan Moneter Fiskal pada Masa Awal Hingga Pertengahan Islam, http://www.pot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html.


[1] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 187.
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 188.
[4] Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 223.
[5] Masyaqqoh (al-masyaqqah) menurut arti bahasa (etimologis) adalah at-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sumber: Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[6] Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h. 224.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Al-hima adalah tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi kepentingan umum. Sumber: Ibid.
[10] Jizyah adalah pajak yang dibayar oleh orang-orang non-muslim sebagai pengganti fasilitas sosial-ekonomi dan layanan kesejahteraan lainnya, serta untuk mendapatkan perlindungan keamanan dari negara Islam. Dengan kata lain dapat dikatakan jizyah adalah pajak yang dipungut dari kaum non-muslim karena berdomisili dan tunduk kepada pemerintahan Islam. Sumber: M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 162.
[11] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 190.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h. 191.
[14] Ibid.
[15] Ganīmah merupakan jenis barang bergerak yang bisa dipindahkan, harta ini diperoleh dalam peperangan melawan musuh. Sumber: M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, op.cit., h. 160.
[16] Fai adalah pengembalian suatu benda. Dalam terminologi yang sah menggambarkan semua harta benda yang didapat dari musuh tanpa menjalani perang yang nyata. Para sarjana Islam mula-mula menggunakan istilah itu dalam pengertian yang lebih luas, yaitu dengan memasukkan juga harta benda yang tak bergerak seperti tanah, pajak yang dikenakan atas tanah, pajak atas hak milik, dan bea cukai yang dikumpulkan dari para pedagang. Dengan kata lain fai bisa diartikan sebagai pendapatan penuh negara. Sumber: Muhammad Saddam, Perspektif Ekonomi Islam, (Jakarta: Pustaka Ibadah, 2003), h. 40.
[17] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[18] Ibid., h. 192.
[19] Bait al-māl adalah institusi keuangan publik yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan, dan pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik dan pemerintah. Sumber: Republika, Berita Dunia Islam, http://www.republika.co.id/berita /dunia-islam/khazanah/12/01/18/lxzqku-khazanah-ekonomi-islam-baitul-mal.html. Diakses pada hari Sabtu, 7 Desember 2013, jam 15.31 wita.
[20] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[21] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, op.cit., h. 155.
[22] Kharāj (pajak) dalam bahasa Arab adalah kata lain dari al-kara’ (sewa) dan al-ghullah (hasil). Dalam terminologi keuangan Islam, kharāj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukkan harus membayar kepada negara Islam. Sumber: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 126.
[23]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 44.
[24] Usyr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Sumber:  M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, op.cit., h. 160.
[25] Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h. 227.
[26] Nurul Huda, dkk., Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoretis, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 162.
[27] Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h. 232.
[28] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 54.
[29] 1 dirham = Rp 64.714,-. Jadi 2,5 x 64.714 = Rp 161.785,-. Sumber: www.geraidinar.com. Diakses hari Senin 2 Desember 2013, pukul 23.55 wita.
[30] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 55.
[31] 8000 x 64.714= Rp 517.712.000,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[32] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, loc.cit.
[33] Ibid., h. 56.
[34] Ibid., h. 57.
[35] Ibid., h. 59.
[36] M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya Dengan Ekonomi Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003), h. 194.
[37] Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan. Sumber: http://justcallmenorm.wordpress.com/2009/12/31/pengertian-dan-macam-macam-diyat.html. Diakses pada hari Jum’at 13 Desember 2013, pukul 07.04 wita.
[38] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 77.
[39] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 198.
[40] 800 x 64.714 = Rp 51.771.200,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[41] 25 x 64.714 = Rp 1.617.850,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[42] 200 x 64.714 = Rp 12.942.800,-  atau 300 x 64.714 = Rp 19.414.200,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[43] 100 x 64.714 = Rp 6.471.400,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[44] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 196.
[45] Ibid., h. 207.
[46] Ibid.
[47] Ibid., h. 208.
[48] Ibid., h. 209.
[49] Ibid.
[50] Zulkarnain, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://www.zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/.html. Diakses pada hari Sabtu, 30 November 2013, Pukul 10.52 wita.
[51] Bani Pamungkas, Kebijakan Moneter Fiskal pada Masa Awal Hingga Pertengahan Islam, http://www.pot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal..html. Diakses pada hari Senin, 2 Desember 2013, pukul 14.51 wita.
[52] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 209.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] Ibid., h. 210.
[56] Ibid., h. 211.
[57] Ibid.
[58] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar