Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam
Oleh: Norlaila Hayati; Norhikmah
A.
Pendahuluan
Kebijakan
fiskal dan anggaran belanja dalam Islam memiliki prinsip untuk mengembangkan
suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan
menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Dari semua kitab agama zaman dahulu,
Al-Qur’an-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat tentang
kebijakan negara mengenai pengeluaran.
Kegiatan-kegiatan yang menambah pengeluaran harus digunakan untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu dalam kerangka umum hukum Islam
seperti ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sejalan
dengan adanya suatu perekonomian dan agar lebih berkembang, perlu adanya suatu
kebijakan yang diadakan oleh pemerintah, baik itu tindakan maupun strategi
supaya ekonomi yang sedang berjalan diupayakan terus maju, tanpa adanya suatu
kelemahan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya inflasi, pengangguran dan lain
sebagainya. Tetapi apabila pendapatan pemerintah berkurang maka pemerintah juga
harus mengurangi pengeluaran. Orang berpandangan bahwa pemerintah haruslah
menjalankan kebijakan fiskal seimbang atau anggaran belanja seimbang, yaitu
pengeluaran haruslah sesuai atau sama dengan pendapatannya.
Dari
paparan di atas kami sebagai penulis merasa perlu untuk mengkajiulang masalah
kebijakan pengeluaran negara dalam Islam. Dalam tulisan ini akan dibahas
mengenai kaidah belanja negara dalam Islam, analisis kebijakan pengeluaran
non-zakat sepanjang sejarah dalam Islam, serta analisis kebijakan pengeluaran
non-zakat di masa kontemporer.
B.
Pembahasan
1.
Kaidah Belanja Negara Dalam Islam
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal di mana
pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah dikumpulkan. Dengan
kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi
pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula maka negara bisa
menggerakkan perekonomian yang ada di masyarakat.[1]
Pemerintah diharapkan dapat menggunakan keuangan tersebut dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketakwaan. Kebijakan
pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada
seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status
sosial. Hanya saja intervensi negara melalui kebijakan fiskal diperlukan berupa
jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan papan, khusus ditujukan kepada warga
negara miskin.[2]
Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai
tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan
kepada masyarakat. Kegagalan pemerintah dalam melakukan distribusi anggaran
negara dapat mengancam keberadaan negara seperti yang terjadi dalam sejarah
peradaban Islam, di mana kesalahan dalam melakukan kebijakan anggaran
menyebabkan kemunduran dan kehancuran negara, baik karena menyebabkan negara
menjadi lemah, juga karena terjadinya pertikaian intern.[3]
Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan
pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah
syar’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan
kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadis dalam memandu
kebijakan belanja pemerintah. Di antara kaidah tersebut adalah:[4]
a.
Kebijakan
atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
b.
Menghindari
masyaqqoh[5]
kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
c.
Mudarat
individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skala umum.
d.
Pengorbanan
individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi
menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
e.
Kaidah
“al-giurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban (yang ingin untung harus siap
menanggung kerugian).
f.
Kaidah
“mā lā yatimmu al-wājibu illā bihi fahuwa wājib” yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh
faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang
tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas
dan efisiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari
pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan dalam
pemerintahan Islam, yaitu:[6]
a.
Pengeluaran
demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b.
Pengeluaran
sebagai alat redistribusi kekayaan.
c.
Pengeluaran
yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d.
Pengeluaran
yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e.
Pengeluaran
yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi Islam dapat
dibagi menjadi tiga bagian:[7]
a.
Belanja
kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b.
Belanja
umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c.
Belanja
umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syar’iyyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan
operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah
disebutkan di atas, secara rinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada:[8]
a.
Kebijakan
belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan
dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi
kemaslahatan pejabat pemerintah.
b.
Kaidah
atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin
manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu
pemerintahan jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping alokasinya pada
sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c.
Tidak
berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak
pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang
sahih seperti kasus “al-hima”.[9]
d.
Prinsip
komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada
hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
e.
Prinsip
komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunah, dan
mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber
dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik, kesehatan,
pendidikan, dan sejenisnya. Adapun kaidahnya adalah adanya pemasukan yang
sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor
investasi pemerintah atau jizyah[10]
atau wasiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya.[11]
Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang
disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan
seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi tidak langsung
seperti pemberian bantuan secara cuma-cuma atau subsidi tidak langsung melalui
mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan
konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal kebijakan
keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep
subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep
tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi
yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk
bantuan langsung.[12]
2.
Analisis Kebijakan Pengeluaran Non-Zakat Sepanjang Sejarah Dalam
Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran
adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintah atau negara merupakan milik
masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan
pedoman Allah SWT. Ia sangat tegas menolak pembelanjaan yang bertentangan
dengan syariah. Saat membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan
kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara
lain:[13]
1)
Kaum
miskin dan yang membutuhkan.
2)
Pemeliharaan
tentara untuk jihad dan pertahanan.
3)
Pemeliharaan
ketertiban dan hukum internal.
4)
Pensiun
dan gaji pegawai.
5)
Pendidikan.
6)
Infrastruktur.
7)
Kesejahteraan
umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak
serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan
penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran.[14]
Untuk penerimaan dari ganīmah[15]
peruntukannya sudah ditentukan secara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fai[16]
pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik
lainnya. Adapun untuk ganīmah ditentukan 4/5 bagian untuk yang pergi
berperang, sedangkan 1/5 bagian untuk Allah dan Rasul-Nya dalam hal ini adalah
negara untuk dibelanjakan bagi kebutuhan umat.[17]
Pengeluaran dana fai menurut Ibnu Taimiyah di antaranya
untuk dua tujuan: Pertama, melindungi kehidupan masyarakat dari serangan
baik dari dalam maupun dari luar. Kedua, untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Jika ganīmah tidak cukup untuk membiayai kebutuhan orang
miskin dapat dibiayai dari fai. Adapun biaya pengeluaran lainnya menurut
Ibnu Taimiyah meliputi:[18]
1)
Biaya
pejabat pemerintah dibiayai oleh fai.
2)
Menggaji
qadi ( hakim) sebagai petugas yang menjaga keadilan.
3)
Fasilitas
pendidikan dan tenaga guru untuk menciptakan masyarakat yang baik dan terdidik.
4)
Fasilitas
publik, infrastruktur, dan kebutuhan yang tidak dapat disediakan secara
individu harus disediakan oleh negara seperti jembatan, bendungan, dan
lain-lain yang harus dibiayai oleh fai.
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukkan ke
dalam bait al-māl,[19]
lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan
anggaran untuk umum. Islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya
daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama Islam, pemerintah
sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang
bersifat keduniaan.[20]
a.
Kebijakan
pengeluaran non-zakat pada masa Rasulullah
Pada masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan
pengeluaran hampir tidak ada. Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan
yang dikerjakan tidak mendapatkan upah, tidak ada tentara formal. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak
lainnya. Untuk mengelola pengeluaran negara maka Rasulullah menyerahkannya
kepada bait al-māl dengan menganut asas anggaran berimbang. [21]
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah menerapkan jizyah dan
juga kharāj.[22]
Pada hakikatnya, kedua sistem pajak tersebut, yakni jizyah dan kharāj,
sudah ada pada masa kekaisaran Romawi dalam bentuk yang sama.[23]
Sistem pajak lainnya yang diadopsi Rasulullah adalah usyr.[24]
Adapun catatan mengenai pengeluaran negara yang secara rinci pada masa Rasulullah juga tidak tersedia.
Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem
keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar.[25]
Pengeluaran
negara selama masa pemerintahan Rasulullah meliputi untuk hal-hal pokok seperti
biaya pertahanan negara, penyaluran usyr untuk mereka yang berhak
menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang negara serta
bantuan untuk musafir. Sedangkan untuk hal yang sifatnya sekunder diperuntukkan
bagi orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan
dan utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin.[26]
Begitulah
Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan pengeluaran non-zakat yang
berlandaskan keadilan, sejak masa awal pemerintahan Islam. Setelah Rasulullah
wafat, kebijaksanaan pengeluaran non-zakat itu dilanjutkan bahkan dikembangkan
oleh para penerusnya.[27]
Menurut
penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Rasulullah sudah sangat
bagus. Karena dalam meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan pengeluaran non-zakat
beliau menerapkan keadilan.
b.
Kebijakan
pengeluaran non-zakat pada masa
pemerintahan Khulafa Rasyidun
1)
Khalifah
Abu Bakar As-Siddiq (11 H-13 H/573-575 M)
Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu
Bakar As-Siddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhafah Al-Tamimi
terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama.[28]
Ketika terpilih sebagai khalifah, Abu Bakar pernah berkata: “Seluruh kaum
Muslimin telah mengetahui bahwa hasil perdaganganku tidak mampu mencukupi
kebutuhan keluarga. Namun, sekarang aku dipekerjakan untuk mengurus kepentingan
kaum muslimin.” Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus
dengan menggunakan harta bait al-māl. Abu Bakar diperbolehkan mengambil
2,5 atau 3/4 dirham[29]
setiap harinya dari bait al-māl dengan tambahan makanan berupa daging
domba dan pakaian biasa. [30]
Namun demikian, beberapa waktu
menjelang ajalnya, Abu Bakar banyak menemui kesulitan dalam mengumpulkan
pendapatan negara sehingga ia menanyakan berapa banyak upah atau gaji yang
diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannya sebesar 8000
dirham,[31]
ia langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya
dan seluruh hasil penjualannya diberikan kepada negara.[32]
Dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan umat Islam, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq melaksanakan beberapa
kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah SAW.[33]
Dalam mendistribusikan harta bait al-māl tersebut, Abu Bakar menerapkan
prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat
Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu
memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka,
dan antara pria dan wanita.[34]
Menurut penulis, kebijakan
pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq juga bagus. Karena
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq melaksanakan kebijakan ekonomi seperti yang telah
dipraktekkan Rasulullah SAW.
2)
Khalifah
Umar bin Al-Khattab (13 H-23 H/575-585 M)
Seiring dengan semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab, dia
mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta bait al-māl
sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada,
bahkan di antaranya disediakan dana cadangan.[35]
Secara garis besar, pengeluaran negara pada masa kekhalifahan Umar
dikeluarkan untuk kebutuhan yang mendapat prioritas, di antaranya adalah
pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik
muslim maupun non-muslim. Dana tersebut juga termasuk pensiunan bagi pegawai
sipil.[36]
Seperti halnya dilakukan oleh Rasulullah SAW, Khalifah Umar
menetapkan bahwa negara bertanggungjawab membayarkan atau melunasi utang
orang-orang yang jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan muslim, membayar
diyat[37]
orang-orang tertentu serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar
menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah
kondisi bait al-māl dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa
pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti
memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[38]
Pengeluaran non-zakat menurut sumber pendapatannya adalah sebagai
berikut:[39]
a)
Usyr (pajak tanah); disimpan di bait al-māl dan akan dibagikan
kepada delapan asnaf.
b)
Khums
dan sedekah; didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi
apakah dia muslim atau non-muslim.
c)
Kharāj;
disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan
kebutuhan umat.
d)
Fai,
jizyah, usyr (pajak
perdagangan) dan sewa tanah; untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta
menutupi biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar
menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil
dikumpulkan dalam bait al-māl. Dana pada bait al-māl adalah milik
kaum muslim, sehingga menjadi tanggung jawab negara menjamin kesejahteraan
rakyatnya. Pada saat itu negara mulai menjalankan fungsinya sebagai penjamin
kesejahteraan rakyat khususnya bagi orang miskin dengan program jaminan sosial.
Orang-orang Mekkah (bukan Muhajirin) diberi tunjangan 800 dirham,[40]
warga Madinah 25 dirham,[41] muslim
di Yaman, Syria, Irak 200 hingga 300 dirham,[42]
anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing 100 dirham.[43]
Tambahan pensiun untuk kaum muslim adalah gandum, minyak, madu, dan cuka dalam
jumlah tetap. Kuantitas dan jenis barang berbeda-beda di tiap wilayah.[44]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah
Umar bin Al-Khattab juga bagus. Karena
Khalifah Umar bin Al-Khattab juga menerapkan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah. Selain itu, Khalifah Umar bin Al-Khattab juga menambahkan beberapa
pengeluaran lain seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.
3)
Khalifah
Usman ibn Affan (23 H-35 H/585-597 M)
Khalifah Usman adalah seorang dari beberapa orang terkaya di antara
beberapa sahabat Nabi. Beliau tidak mengambil upah dari bait al-māl,
sebaliknya Usman malah menyimpan uangnya di bendahara negara. Hal ini
menimbulkan kesalahpahaman antara khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah satu
sahabat Nabi terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan bait al-māl
pusat. Pada perkembangan berikutnya keadaan ini bertambah rumit bersamaan
dengan munculnya pertanyaan lain yang menimbulkan kontroversi mengenai
ketidakhati-hatian pengeluaran uang bait al-māl.[45]
Ada beberapa kebijakan kontroversial yang dilakukan Khalifah yang
menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, seperti yang dilakukan oleh
Khalifah Usman, yaitu:[46]
a)
Kebijakan
untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-māl.
b)
Menggunakan
dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya.
c)
Kebijakan
Usman ra, untuk memberikan tambahan gaji para pejabat negara, beberapa di
antaranya memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa Khalifah
Usman ibn Affan sangat tidak adil. Karena Khalifah Usman ibn Affan dalam mengeluarkan
uang bait al-māl sangat tidak hati-hati, dan memberikan harta bait
al-māl untuk kerabatnya serta memberikan tambahan gaji para pejabat negara
yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya saja.
4)
Khalifah
Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H/597-602 M)
Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah setelah Usman terbunuh. Ali
berkuasa selama lima tahun. Setahun pengangkatan dirinya, Ali kemudian
melaksanakan kebijakan untuk mengganti pejabat-pejabat yang korup yang ditunjuk
Usman, membuka kembali tanah-tanah perkebunan yang diberikan kepada orang-orang
kesayangan Usman, serta mendistribusikan pendapatan sesuai dengan yang diatur
Umar. Kebijakan ini mendapat perlawanan dari sebagian orang di antaranya adalah
Muawiyah di Syria. Inilah awal dari pemberontakan Muawiyah terhadap
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[47]
Ali hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam mengelola
keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian
harta bait al-māl. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura
yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-māl dijadikan
cadangan, tidak sejalan dengan pendapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat
menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan
seluruh pendapatan bait al-māl yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.[48]
Dalam alokasi pengeluaran, yang dilakukan hampir sama dengan yang
dilakukan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah
jumlahnya pada masa Usman, oleh Ali dihilangkan, karena daerah sepanjang garis
pantai seperti Syria, Palestina, dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah,
sementara Muawiyah memberontak kepada Ali dengan memproklamirkan dirinya
sebagai penguasa independen di Syria. Adapun fungsi bait al-māl masih
tetap seperti sebelumnya. Pada masa ini tidak ada perubahan yang berarti.[49]
Menurut penulis, kebijakan pengeluaran pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib hampir sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Hanya saja dalam
mengelola keuangan negara Ali bin Abi Thalib sangat ketat walaupun Ali bin Abi
Thalib tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian bait al-māl.
c.
Kebijakan
pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Umayyah
Ketika dunia
Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi bait al-māl
berubah. Jika pada masa sebelumnya bait al-māl dikelola dengan penuh
kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat. Pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, bait al-māl berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat. Pada
masa Bani Umayyah, khususnya Umar bin Abdul Aziz, fungsi bait al-māl
terus meluas. Tidak hanya menyalurkan dana tunjangan, tetapi juga dikembangkan
dan diberdayakan untuk menyalurkan pembiayaan demi keperluan pembangunan sarana
dan prasarana umum. Bahkan bait al-māl juga dipakai untuk membiayai
proyek penerjemahan buku-buku kekayaan intelektual Yunani kuno. Umar bin Abdul
Aziz memiliki kebijakan pengelolaan keuangan negara yang relatif matang pada
masanya. Hal ini dapat dilihat dari pengelolaan pendistribusian pengeluaran
non-zakat yang meliputi belanja pegawai, belanja peralatan administrasi negara,
dan pendidikan.[50]
Menurut
penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Umayyah
juga bagus, karena pada masa kekhalifahan Bani Umayyah bait al-māl terus
meluas dan berkembang.
d.
Kebijakan
pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah
Ketika
pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Ar-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang
dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, Khalifah melakukan
diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun bait al-māl untuk
mengurus keuangan negara. Seluruh pendapatan negara dimasukkan ke dalam bait
al-māl dan dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset
ilmiah dan penerjemahan buku-buku Yunani, di samping untuk biaya pertahanan dan
anggaran rutin pegawai.[51]
Menurut
penulis, kebijakan pengeluaran non-zakat pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah
sudah sangat berkembang dengan pesat.
3.
Analisis Kebijakan Pengeluaran Non-Zakat di Masa Kontemporer
Di masa Rasulullah
SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran
modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara
fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan
dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.[52]
Negara yang
menganut demokrasi, biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum, tiap
tahun, fakta anggaran belanja negara yang menganut demokrasi tersebut adalah
bahwa anggaran belanja negara dinyatakan melalui peraturan yang disebut dengan
peraturan anggaran belanja negara sekian tahunan. Kemudian ditetapkan sebagai
peraturan setelah dibahas dengan parlemen.[53]
Anggaran modern
merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus
dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang
terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus
menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan
defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang
mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan
rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan
atau dari luar negeri.[54]
Telah kita
lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan
sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat
memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam
suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang
yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. Setiap warga
negara harus menyumbang untuk keuangan negara sesuai dengan kemampuannya dari
hasil pendapatannya. Menurut prinsip ekonomi, biaya pungutan pajak tidak boleh
melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri. [55]
Terangkum
dengan jelas bahwa sistem perekonomian yang mengenai anggaran belanja, menjadi
suatu perbedaan yang mendasar mengenai sistem anggaran belanja Islam dengan
modern. Islam menitikberatkan pada masalah pelayanan terhadap urusan umat, yang
telah diserahkan oleh syara’ dan ditetapkan sesuai dengan apa yang telah
menjadi pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran belanja modern lebih
menekankan pada suatu campuran rumit antara rencana dan proyek.[56]
Kitab suci
Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan
negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Sesungguhnya, bila
kita memerhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW, tidak ada suatu
kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan negara
sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan zaman
modern.[57]
Dalam suatu
negara Islam, yang menjadi dasar anggaran tidak lagi penerimaan yang akan
menentukan jumlah yang tersedia bagi pengeluaran. Dalam negara Islam
pengeluaran yang sangat dibutuhkanlah yang akan menjadi dasar dari anggaran. Di
tahun belakangan ini, sejumlah bentuk baru anggaran telah berkembang, yang
terpenting ialah anggaran berdasarkan program dan anggaran berdasarkan
prestasi. Di negara Islam pada umumnya anggaran belanja berdasarkan program dan
berdasarkan prestasi hanya dapat dilaksanakan bila terdapat prasarana
administratif yang kuat dengan staf akuntan terdidik, ahli ekonomi, perencana,
dan tenaga ahli lainnya.[58]
C.
Penutup
Demikian yang
dapat penulis paparkan mengenai kebijakan pengeluaran instrumen non-zakat dalam
Islam dalam makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya baik dari kesalahan penulisan, rangkaian kalimat dan penyusunan
makalah. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
seperti yang diharapkan oleh para pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah Keuangan
Publik Islam, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang
berhubungan dengan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharap kepada para
pembaca dan dosen pembimbing mata kuliah ini dapat memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan bagi
pembaca.
Daftar Pustaka
Buku
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2007.
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam; Konsep, Teori
dan Analisis, Bandung, Alfabet, 2010.
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya
dengan Ekonomi Kekinian, Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI),
2003, cet. ke-1.
Muhammad Saddam, Perspektif Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka
Ibadah, 2003.
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Jakarta, Kencana, 2006.
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis
dan Sejarah, Jakarta, Kencana, 2012.
Nurul Huda, dkk., Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoretis,
Jakarta, Kencana, 2009, cet. ke-2.
Internet
Bani Pamungkas, Kebijakan Moneter Fiskal pada Masa Awal Hingga
Pertengahan Islam, http://www.pot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html.
Republika, Berita Dunia Islam, http://www.republika.co.id/berita
/dunia-islam/khazanah/12/01/18/lxzqku-khazanah-ekonomi-islam-baitul-mal.html
Zulkarnain, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://www.zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/.html.
[1] Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 187.
[2] Ibid.
[3] Ibid., h.
188.
[4] Mustafa Edwin
Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007), h. 223.
[5] Masyaqqoh
(al-masyaqqah) menurut arti bahasa (etimologis) adalah at-ta’ab,
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sumber: Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[6] Mustafa Edwin
Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h.
224.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Al-hima adalah
tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi kepentingan
umum. Sumber: Ibid.
[10] Jizyah
adalah pajak yang dibayar oleh orang-orang non-muslim sebagai pengganti
fasilitas sosial-ekonomi dan layanan kesejahteraan lainnya, serta untuk
mendapatkan perlindungan keamanan dari negara Islam. Dengan kata lain dapat
dikatakan jizyah adalah pajak yang dipungut dari kaum non-muslim karena
berdomisili dan tunduk kepada pemerintahan Islam. Sumber: M. Nur Rianto Al
Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 162.
[11] Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 190.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h.
191.
[14] Ibid.
[15] Ganīmah
merupakan jenis barang bergerak yang bisa dipindahkan, harta ini diperoleh dalam
peperangan melawan musuh. Sumber: M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi
Islam, op.cit., h. 160.
[16] Fai
adalah pengembalian suatu benda. Dalam terminologi yang sah menggambarkan semua
harta benda yang didapat dari musuh tanpa menjalani perang yang nyata. Para
sarjana Islam mula-mula menggunakan istilah itu dalam pengertian yang lebih
luas, yaitu dengan memasukkan juga harta benda yang tak bergerak seperti tanah,
pajak yang dikenakan atas tanah, pajak atas hak milik, dan bea cukai yang
dikumpulkan dari para pedagang. Dengan kata lain fai bisa diartikan
sebagai pendapatan penuh negara. Sumber: Muhammad Saddam, Perspektif Ekonomi
Islam, (Jakarta: Pustaka Ibadah, 2003), h. 40.
[17]
Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[18] Ibid.,
h. 192.
[19] Bait al-māl
adalah institusi keuangan publik yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan,
dan pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi
publik dan pemerintah. Sumber: Republika, Berita Dunia Islam, http://www.republika.co.id/berita
/dunia-islam/khazanah/12/01/18/lxzqku-khazanah-ekonomi-islam-baitul-mal.html. Diakses pada
hari Sabtu, 7 Desember 2013, jam 15.31 wita.
[20] Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islam; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, loc.cit.
[21] M. Nur Rianto
Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, op.cit., h. 155.
[22] Kharāj
(pajak) dalam bahasa Arab adalah kata lain dari al-kara’ (sewa) dan al-ghullah
(hasil). Dalam terminologi keuangan Islam, kharāj adalah pajak atas
tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah taklukkan harus membayar
kepada negara Islam. Sumber: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 126.
[23]Adiwarman Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 44.
[24] Usyr adalah
bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam
setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
Sumber: M. Nur Rianto Al Arif, Teori
Makroekonomi Islam, op.cit., h. 160.
[25] Mustafa Edwin
Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h. 227.
[26] Nurul Huda,
dkk., Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoretis, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 162.
[27] Mustafa Edwin
Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, op.cit., h. 232.
[28] Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 54.
[29] 1 dirham = Rp
64.714,-. Jadi 2,5 x 64.714 = Rp 161.785,-. Sumber: www.geraidinar.com. Diakses hari
Senin 2 Desember 2013, pukul 23.55 wita.
[31] 8000 x 64.714=
Rp 517.712.000,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[32]
Adiwarman Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, loc.cit.
[33] Ibid.,
h. 56.
[34] Ibid.,
h. 57.
[35] Ibid.,
h. 59.
[36] M. Nazori
Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya Dengan Ekonomi
Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003), h. 194.
[37] Diyat adalah
sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana kepada korban
kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.
Sumber: http://justcallmenorm.wordpress.com/2009/12/31/pengertian-dan-macam-macam-diyat.html. Diakses pada
hari Jum’at 13 Desember 2013, pukul 07.04 wita.
[38] Adiwarman Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op.cit., h. 77.
[39]
Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h.
198.
[40] 800 x 64.714 =
Rp 51.771.200,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[41] 25 x 64.714 =
Rp 1.617.850,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[42] 200 x 64.714 =
Rp 12.942.800,- atau 300 x 64.714 = Rp
19.414.200,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[43] 100 x 64.714 =
Rp 6.471.400,-. Sumber: www.geraidinar.com.
[44] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h.
196.
[45] Ibid., h.
207.
[46] Ibid.
[47] Ibid.,
h. 208.
[48] Ibid.,
h. 209.
[49] Ibid.
[50] Zulkarnain, Kebijakan
Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://www.zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/.html. Diakses pada
hari Sabtu, 30 November 2013, Pukul 10.52 wita.
[51]
Bani Pamungkas,
Kebijakan Moneter Fiskal pada Masa Awal Hingga Pertengahan Islam, http://www.pot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal..html. Diakses pada
hari Senin, 2 Desember 2013, pukul 14.51 wita.
[52]
Nurul Huda, dkk.,
Keuangan Publik Islami; Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h.
209.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] Ibid.,
h. 210.
[56] Ibid.,
h. 211.
[57] Ibid.
[58] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar