“...Menjelaskan
Kesepian...”
Waktu merangkak dengan cepat, merangkak yang kita kira lambat
ternyata bergerak seakan tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu,
begitu juga aku, begitu juga kita yang belum sempat menjadi kita. Bahkan waktu
telah menghapus aku dan kamu yang belum menjadi KITA, waktu telah
memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan
perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun
pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya
hak untuk menebak, begitu juga aku.
Kau bilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa
begitu menyakitkan. Tapi, siapa yang tahu perasaan seseorang yang terdalam?
Mulut bisa berkata, tapi hati sulit untuk berdusta. Kalau boleh aku jujur,
semua terasa asing dan berbeda. Ketika hari-hari yang kulewati seperti tebakan
yang jawabannya sudah kuketahui. Tak ada lagi kejutan, tak banyak hal-hal penuh
misteri yang membuatku penasaran. Aku seperti bisa meramalkan semuanya, hari-hariku
terasa hambar karena aku bisa membaca menit-menit di depan waktu yang sedang
kujalani. Aku bisa dengan mudah mengerti peristiwa, tanpa pernah punya secuil
rasa untuk menyelami sebab dan akibatnya. Aku paham dengan detik yang begitu
mudah kuprediksi, semua terlalu mudah terbaca, tak ada yang menarik. Kepastian
membuatku bungkam, sehingga aku kehilangan rasa untuk mencari dan terus
mencari. Itulah sebabnya setelah tak ada lagi kamu di sini. Kosong.
Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin saja
tidak kamu rasakan? Aku berada di lorong-lorong gelap dan menunggu rengkuhan
jemarimu mempertemukan aku pada cahaya terang. Namun, bahkan tanganmu saja
enggan menyentuh setiap celah dalam jemariku. Harapanku terlalu jauh untuk
mengubah semuanya seperti dulu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagian
kita seutuhnya, saat masih ada kamu dalam barisan hariku. Perpisahan seperti
mendorongku pada realita yang selama ini kukatakan. Kehilangan mempersatukan
aku pada air mata yang seringkali jatuh tanpa sebab. Aku sulit memahami
kenyataan bahwa kamu tak lagi ada dalam hari-hariku, aku semakin tak bisa
menerima keadaan yang semakin menyudutkanku. Semua kenangan bergantian melewati
otakku, bagai film yang tak pernah mau berhenti tayang. Dan, aku baru sadar,
ternyata kita dulu begitu manis, begitu mengagumkan, begitu sulit untuk
dilupakan.
Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada
kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya
bayang-bayang yang saling berkejaran, saling menebar rasa ketakutan. Ada rasa
takut tanpa sebab yang memaksaku untuk terus memikirkan kamu. Ada kekuatan yang
sulit kujelaskan yang membawa pikiranku selalu mengkhawatirkanmu.
Salahkah jika aku masih menginginkan penyatuan?
Salahkah jika aku benci perpisahan?
Tak banyak yang ingin kujelaskan, saat kesepian menghadangku
setiap malam. Biasanya, malam-malam begini ada dentingan handphone pertanda ada
pesan singkat dari kamu, yang mengantarku sampai gerbang mimpi dan membiarkanku
sendiri melewati setiap rahasia hati. Kali ini, aku sendiri, memikirkan kamu
tanpa henti. Jika kita masih saling menghakimi dan saling menyalahi, apakah
mungkin yang telah putus akan tersambung dengan pasti? Aku tak tahu dan tak mau
memikirkan keadaan yang tak mungkin kembali. Semua sudah jelas, namun entah
mengapa aku masih sulit memahami, kenapa harus kita yang alami ini? Tak adakah
yang lain? Aku dan kamu bukan orang jahat, namun mengapa kita terus saja
disakiti. Bukankah di luar sana masih banyak orang jahat?
Jangan tanyakan padaku jika senyumku tak lagi sama seperti dulu.
Jangan salahkan aku, jika pelangi dalam duniaku hanya tersedia warna hitam dan
putih. Setelah kamu tinggalkan, semuanya jadi berbeda. Aku bahkan tak mengenal
diriku sendiri, karena separuh yang ada dalam diriku sudah berada dalammu...
yang pergi, dan entah kapan kembali. Aku merindukanmu, juga kita yang belum sempat
menjadi KITA.
Untukmu, Mr. Emon ~ JR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar