Senin, 24 Maret 2014

Selamat Ulang Tahun Jazuli Wibisana Dewa Devaro Eiger Rahman Putra Awan



“...Selamat Ulang Tahun Mr. Emon ku...”
~25 Maret 2014~
Aku tahu, kamu tak akan mungkin membaca ini. Dengan segala daya dan upayaku, aku juga tak akan mungkin mampu membuatmu membaca tulisan aneh ini. Jelas saja aneh. Tulisan ini dibuat oleh seorang wanita yang bahkan tak benar-benar mengenalmu. Barisan paragraf ini diutarakan oleh seorang perempuan yang tak pernah bisa kau tatap matanya, tapi perempuan ini selalu memperhatikanmu dari jauh serta pernah mengisi hari-harimu dalam waktu yang singkat, ya, kurang lebih sekitar satu/dua bulan tanpa status hubungan yang jelas. Tapi, mungkin, jika keajaiban membuatmu bisa membaca tulisan ini, aku hanya ingin bilang; tolong jangan tertawa membaca setiap kalimatnya. Dalam tulisanku, aku mengundang kamu masuk, membiarkan kamu abadi dalam setiap abjad dan kalimat.
Perkenalan kita terjadi dengan tidak disengaja, saat kita berada ditempat yang sama, berbincang-bincang ringan bersama teman-teman, yang mana, temanmu adalah temanku juga. Senyummu membawa sesuatu yang berbeda dalam hari-hariku. Kamu menjelma menjadi sosok yang sangat penting, yang tak ingin kulewati setiap berita dan kabarnya. Aku memang meletakkan perhatianku sepenuhnya untukmu dan kamu memang selalu berhasil merenggut rasa penasaranku. Kutunggu kamu dalam setiap status di jejaring sosial yang kita kenal dengan “Facebook”. Kunikmati caramu berkomentar di berbagai status. Di mimpiku, kamu begitu nyata dan bernyawa, bisa kusentuh dan kugenggam jemarinya. Dalam bayangan, kamu bisa kubentuk menjadi sosok yang hangat, yang tak akan pergi dan terus kutahan di sini – hatiku.
Mr. Emon, apakah kau ingin tahu? Di hatiku, kamu sudah jadi segalanya. Di otakku, kamu menjadi senyawa yang mengikat dan menjerat. Aku tak tahan lagi hanya sekedar mengamatimu dari layar handphone dan NoteBook ku. Kuputuskan mengejarmu dan kucuri waktu untuk bisa menemuimu. Sampai pada suatu ketika, kita memang bertemu. Kamu dengan kaos lengan pendekmu dan wajah yang setengah lelah. Kucuri senyummu di balik helm ku yang sejak tadi menggantung di bibirmu. Kue, ya, aku membawakanmu kue yang sengaja kubuat sehari sebelum aku bertemu denganmu. Saat bicara denganmu, rasanya aku tidak bisa bernapas.
Setiap malam, kureka wajahmu dalam angan. Kamu kembali menjadi sosok magis yang tak mau hilang dari ingatan. Ah, aku menyesali perasaanku sendiri. Aku memang begini, selalu mencintai banyak hal setengah mati dan ketika benci bisa begitu sepenuh hati. Tapi aku tak membiarkan hatiku membenci seseorang, siapa pun  itu yang telah melukai hatiku, aku tak ingin membencinya.
Mr. Emon, semoga kamu tak bosan membaca surat yang tak penting ini. Surat yang kukirim tidak ke alamat yang jelas, surat yang tak akan pernah sampai di depan pintu rumahmu, surat yang tetap hanya akan tertulis; dibaca tanpa digubris.
Di surat yang tak penting ini, aku, pengagummu yang egois, ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Tetaplah jadi yang istimewa di balik sosokmu yang sederhana menurut pandangan mataku. Dan, satu lagi, tolong jangan tertawa ketika membaca ini; aku masih menyimpan sayang untukmu.
Untuk mu Mr. Emon – JR
Dari pengagummu

Rabu, 19 Maret 2014

Untuk Tuan...



“...Yang Aku Perjuangkan, Yang Kau Abaikan...”
Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dalam kisahnya, ia harus berjuang, berdiam dan menunggu pun juga adalah bagian dari perjuangan. Menunggu. Itulah yang selama ini kulakukan, sebagai wujud dari perasaanku yang entah mengapa masih ingin memperjuangkanmu.
Aku tahu, setiap malamku selalu kuisi dengan kenangan dan ingatan. Kenyataan yang harus kuterima, kau tak ada di sampingku, entah untuk menenangkan sedihku dan merangkul kesepianku. Dengan sikapmu yang tidak peka seperti itu, mengapa aku masih ingin memperjuangkanmu? Aku tak tahu, jadi jangan tanyakan padaku mengapa aku juga bisa mencintaimu dengan cinta yang yang tak benar-benar kupahami.
Ada perasaan rindu yang tidak benar-benar aku ungkapkan. Rindu yang kudiamkan, terlalu sibuk dalam penantian hingga berakhir pada air mata. Apakah kau tahu hal itu? Tentu tidak, kau tidak memedulikanku sedalam aku memedulikanmu. Tak ada cinta di matamu, sedalam cinta yang kupunya. Tapi, dengan kebutaan dan kebisuan yang kupunya, aku masih ingin mempertahankan “aku dan kamu yang belum menjadi KITA” yang sebenarnya membuahkan sakit bagiku.
Kekhawatiranku, yang tak pernah kuceritakan padamu, tentu tak pernah kau pikirkan. Ketakutanku membungkam segalanya. Apakah kamu pantas diperjuangkan sejauh ini? Akankah kebersamaan ini punya akhir bahagia?
Aku takut... aku takut dengan banyak hal yang diam-diam menyerang aku maupun kamu dari belakang. Kebersamaan aku dan kamu yang belum menjadi KITA, yang memang tak berjalan dengan mudah ini cukup membuatku lelah. Aku ingin berhenti memperjuangkanmu. Aku lelah dihantui kabut hitam yang menodai pencarianku selama ini. Aku inginkan matahari, bukan mendung seperti ini.
Di mana kamu ketika aku inginkan kamu di sini? Kemana larinya kamu ketika aku berjuang untuk satu-satunya makhluk yang kupikir bisa memberiku kebahagiaan nyata? Seringkali kumaafkan ketidakhadiranmu, seringkali kumaklumi kesalahanmu, dan selalu kuberikan senyum terbaik ketika sesungguhnya aku ingin menangis.
Ini semua perjuanganku untuk mempertahankanmu, apakah sudah cukup menghilangkan ketidakpekaanmu? Inilah perjuanganku, yang selama ini selalu kau abaikan. Apakah hatimu sedikit tersentuh?
Mr. Emon ~ JR

Senin, 17 Maret 2014

"...Mr. Emon..."



“...Untuk Mr.Emon ku...”
Kita pernah begitu dekat. Aku dan kamu bertemu, saling tahu, dan sama-sama memahami bahwa ada sesuatu di hati kita; yang tak bisa dijelaskan kata. Aku menatap matamu dengan tatapan mendalam dalam kegelapan malam, aku percaya di sana ada cinta. Cinta yang sama-sama kita rasakan, tapi tertahan dalam hati, berdiam dalam jantung, dan enggan menemukan waktu pengungkapan. Bayangkan, Mr.Emon, kita bisa bertahan selama kurang lebih dua bulan. Menjalani kisah yang yang tak pernah jelas di mana ujungnya. Memulai cerita tanpa memikirkan akhir yang jelas. Teka-teki itu membuat aku dan kamu penasaran, lalu kita memutuskan untuk berjalan bersama, walaupun tak beriringan; walau tak saling bergenggam tangan.
Ketidakjelasan kita membawaku dalam rasa takut. Rasa takut yang belum tentu kau rasakan. Aku tahu, Mr. Emon. Jiwamu terlalu bebas, bahkan aku tak bisa menahanmu untuk tinggal. Kamu pergi dan aku hanya diam menunggumu pulang. Seringkali kau pulang dengan membawa banyak cerita, cerita-cerita manis yang kuharapkan juga ada aku sebagai tokohnya, walaupun tak jadi tokoh utama. Kuharapkan kata rindu terucap dari bibirmu, tapi kata itu tak pernah kudengar. Kamu terus bercerita, Mr. Emon. Dan, aku, sebagai pendengar, selalu mendengar; tidak membantah. Mr. Emon, bisakah kau rasakan keteguhan hati seorang perempuan yang tetap diam meskipun dia begitu mencintaimu?
Teman-temanku sering bilang, bahwa harusnya aku tak mempertahankanmu sedalam itu. Tapi, mengapa perasaanku hanya ingin meyakinimu? Mangapa aku enggan melawan ketika kamu menerbangkanku ke angkasa paling tinggi, lalu membiarkanku mengepakkan sayap sendiri? Mr. Emon, mengapa aku percaya bahwa kau juga punya perasaan yang sama?
Tak mungkin kau terlalu buta untuk memahami semua. Tak mungkin kau terlalu tuli untuk mendengar perhatianku, bisikan hatiku yang inginkan kamu tetap di sini. Tak mungkin kau terlalu bodoh untuk menebak yang ada dalam mataku. Mr. Emon, ini cinta, dengan cara apalagi bisa kubilang padamu bahwa aku mencintaimu bahkan dalam kesakitanku?
Untuk Mr. Emon ku, yang telah pergi tanpa mengungkapkan perasaan; terima kasih untuk setiap harapan yang kau hempaskan. Aku mengerti, harusnya dari awal aku tak perlu memulai. Harusnya ketika kau datang, aku tak perlu menggubrismu.
Harusnya kita tak pernah ada; agar aku tak perlu terluka.
(To: Mr. Emon ku – JR)

"...Sampai Kamu Datang..."



“...Sampai Kamu Datang...”
Satu minggu ditambah satu hari. Begitu singkat perkenalan kita, tapi ternyata semua telah melekat, termasuk cinta? Kamu tak percaya? Tentu saja. Aku sendiri juga tak parcaya bahwa aku akan jatuh cinta lagi.
(01 Februari 2014)
Tiga hari setelah perpisahan kita. Semua begitu berbeda. Entah mengapa meskipun aku belum benar-benar mengenalmu, sudah lahir saja rindu yang sulit kuatasi. Aku mencari-cari kamu dengan menggunakan apapun. Aku mengharapkan beritamu mampir walaupun sekadar cerita atau mitos semata. Ku dengar, kamu sakit, ya? Cepat sembuh, ya. Maaf jika aku tak berperan aktif untuk menyembuhkan sakitmu, karena kamu telah memutuskan kebersamaan kita dan tak lagi ingin melihat aku dalam tatapan matamu. Aku bertanya-tanya, apa salahku?
Untuk cahaya penunjukku, aku kebingungan melawan resah dan kangen. Aku berusaha tak memikirkan kamu dan kenangan-kenangan kita, tapi semakin kulawan; semakin kau hadir dan melekat. Perpisahan harusnya tak terlalu menghasilkan sakit karena perkenalan kita belum terjalin begitu lama. Aku hanya menyesal, mengapa semua yang kupikir akan berakhir bahagia malah berakhir secepat itu? Satu helaan napasku memburu, kucuri kamu dalam otakku. Kamu tetaplah bayang-bayang, menghamburkan harapan, kemudian menghempaskan.
Aku melirik ke belakang, melihat dan mengingat apa saja yang pernah kita lakukan. Aku ingat ketika kamu memperhatikanku dengan baik dan peduli, sangat mengkhawatirkanku saat aku sakit. Aku merekam segala rasa cemasmu ketika aku bercerita ada pria yang tak kukenal mengirimiku pesan singkat dihandphoneku. Aku mengenang genggaman tanganmu yang kurasakan pertama kali. Tatapan matamu yang tajam kepadaku, sehingga ku tak mampu menahan tawaku. Rasanya, aku tak cukup kuat untuk mengembalikan segalanya kembali seperti awal perkenalan kita.
Aku menunggu saat kita bisa bertemu lagi, saling menumbuhkan rasa percaya juga cinta. Aku menunggu kamu datang, membawa genggaman hangatmu juga rindu yang kau pendam. Mungkinkah kau punya cinta dan sayang sekuat dan seindah yang kupunya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kamu begitu sulit kutebak, tapi aku mencintai segala teka-tekimu. Kamu hadir di saat yang tepat, saat aku membutuhkan perkenalan tanpa keribetan, saat aku menginginkan pria humoris di sampingku. Aku menemukan sosok pria idaman dalam dirimu, tapi sepertinya aku bukanlah sosok yang kau inginkan. Aku terlalu buruk untukmu. Aku tak ingin wajah tampanmu bersanding dengan wanita serendah aku. Kamu terlalu sempurna untuk kugapai dan aku hanyalah si buruk rupa yang merindukan takdir indah.
Mr. Emon ku, aku menunggu kamu pulang. Kepulanganmu adalah kebahagiaan bagiku. Aku menunggu kamu berbalik arah dan kembali berjalan ke arahku. Aku mulai mencintaimu dan kurasa kamu juga begitu. Kamu selalu berkata sayang, mengucap rindu, dan tersenyum ke arahku dengan wajah manis. Cukupkah segala alasan itu menjadi dasar penilaiku, bahwa kau juga mencintaiku? Memang terlalu tergesa-gesa menyebutnya cinta, tapi izinkan aku bilang bahwa cinta pun bisa datang bahkan tanpa aku meminta.
Ketika berkenalan denganmu, aku tak minta banyak hal selain pertemanan. Tapi, kau membuka mataku dan mengecup manis anganku, hingga aku merasa nyaman jika berada di dekatmu. Jika perasaan itu makin tumbuh, salahkah aku? Maaf, jika aku terlalu berharap banyak. Maaf, jika aku tak bersikap sadar diri ataupun memilih pergi.
Aku menunggumu sampai datang. Pulanglah, Mr. Emon ku. Jangan pergi lagi. Aku menunggumu sampai waktu tak izinkan kita bersatu.
Unutkmu, Mr. Emon ku ~ JR

"...Sama Saja..."



“...Sama Saja...”
Kamu datang membawa banyak harapan, membawa banyak janji lewat bisikan. Kau hangatkan hatiku dengan yang dingin dengan sesuatu yang kau sebut cinta. Kau genggam lembut perasaanku dengan sesuatu yang kau sebut kisah nyata. Lalu, sosokmu masuk dalam hidupku; membawa warna berbeda dalam hari-hariku.
Aku sudah bosan dengan mata bengkak karena menangis, sudah bosan melamun karena disakiti, dan sudah bosan merasa lelah karena terlalu sering dibuat menunggu. Kamu bisikan sesuatu di telingaku, “aku tidak akan seperti dia, tukang PHP.” Kamu berjanji tak akan menyakitiku dan selalu membuatku tersenyum.
Mr. Emon, aku sangat mempercayaimu. Ketika kau datang membawa sesuatu yang menarik, mataku terlalu silau untuk mengawasi gerak-gerikmu. Pesonamu terlalu berkilau hingga membuatku buta segala. Hatiku kau kendalikan, perasaanku kau eratkan, dan hatiku kau permainkan. Pelan-pelan, kamu semakin masuk ke dalam hidupku, kamu juga terlibat dalam nasibku. Kita semakin dekat karena percakapan serta kata-kata manismu dalam setiap obrolan bodoh kita di pesan singkat.
Setiap malam, kau menghujaniku dengan kata-kata manismu menghangatkan malam-malam ku dengan candaanmu, mengangkatku dengan kebahagiaan yang kau janjikan, dan membawaku terbang ke mimpi-mimpi yang pernah kita rancang dengan begitu teliti dan teratur. Hadirmu membuat aku percaya bahwa cinta tak melulu soal air mata. Aku begitu mudah merasa nyaman denganmu, begitu mudah merasa bahwa kamu adalah pengobat lukaku. Kuikuti permainanmu, permainan yang tak kuketahui peraturannya. Aku masuk tanpa persiapan, ketika kau bawa aku berlari, berjalan, dan berhenti; aku masih tetap merasa baik-baik saja. Padahal, diam-diam, kau sedang merancang sesuatu. Sesuatu yang ujung-ujungnya malah menyakitkan.
Kamu pernah berkata, bahwa sosokku telah membuatmu menjatuhkan hati kepadaku. Kamu seperti menjanjikan kita yang bahagia, yang nyata, yang tanpa luka. Tapi, nyatanya? Kamu mengingkari janji-janji yang sempat membuatku berharap lebih.
Kamu sama saja, Mr. Emon. Sama seperti yang lainnya, yang memilih pergi; saat aku sedang cinta-cintanya. Walaupun aku tau keputusanmu untuk meninggalkanku adalah untuk fokus kuliah, tetapi haruskah sesakit ini.
(To: Mr. Emon ~ JR)