Rabu, 11 Desember 2013

Metodologi Studi Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak kedatangan islam pada abad ke-13 M. hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat islam masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Ada sejumlah orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun tidak tekoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Dan ada pula orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya.
Memahami islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap, dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Adapun metode-metode yang digunakan untuk memahami islam ada dua yaitu metode komparasi dan metode sintesis.
B.     Rumusan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang akan di bahas adalah:
1.      Metodologi Mempelajari Islam
2.      Model-Model Penelitian Studi Islam
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk memenuhi tugas mandiri “Pengantar studi islam” yang diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan tentang “Metodologi Studi Islam” yang akan dibahas dalam makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metodologi Mempelajari Islam
Atas dasar prinsip bahwa ajaran islam berlaku untuk semua umat manusia maka islam masa kini, dalam sosok dasarnya, memiliki persamaan dengan islam masa Rasul Allah. Dengan meminjam terminology filsafat, maka dapat ditemukan persamaan esensi, meskipun dengan perbedaan tampilan empiris, karena perbedaan ruang waktu pelaksanaan dan berbagai konsekuensi praktisnya. Islam masa kini bermaksud mengulangi islam masa lalu, untuk menemukan cara yan mampu mengantar mereka agar sampai pada tujuan tersebut dapat dipenuhi oleh ilmu.[1]
Ada sejumlah orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Selanjutnya ada pula orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya. Hingga saat ini pemahaman islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif.
Memahami islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap, dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Untuk menghindari kesalahpahaman yang mana memungkinkan timbulnya pandangan dan sikap negatif terhadap islam, maka untuk memahami islam secara benar ialah dengan cara-cara sebagai berikut.
Pertama, islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami islam karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama-ulama dan pemeluk-pemeluknya yang telah jauh dari pimpinan Qur’an dan Sunnah. Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Apabila islam dipelajari secara sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang islam seperti yang dipelajarinya, yaitu bagian kecil dari masalah dalam islam dan yang bukan pokok. Ketiga, islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana islam. Pada umumnya mereka memahami islam secara baik, pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.[2] Keempat, islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normative teologis yang ada dalam Al-Qur’an dengan islam yang ada pada dataran historis, sosiologis, dan empiris.
Ali Syar’ati mengatakan, salah satu cara memahami atau mempelajari islam adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya ialah dengan mempelajari kitab Al-Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya. Ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian Rasul islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaruan yang pernah hidup dalam sejarah. Dan cara terakhir adalah dengan mempelajari tokoh-tokoh islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh  utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.[3]
Metode lain untuk memahami islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Dalam hal agama islam, juga agama-agama lain, kita dapat mengidentifikasi lima aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci, dan aspek keadaan sewaktu munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Selanjutnya, untuk memahami islam dapat dilakukan dengan memahami kitab sucinya.
Metode yang digunakan untuk memahami atau mempelajari islam secara garis besar ada dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama islamdengan agama lainnya. Dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman islam yang objektif dan utuh.  Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara mmemahami islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif.
Sebagai pangkal tolak mengenal islam hendaklah jangan dipelajari lewat literatur para orientalis. Kaum orientalis pada umumnya bukan muslim. Mereka memandang islam menurut pola pemikiran kaum islamfobi. Penulisan mereka pada umumnya mengenai islam bukan dengan tujuan suci, tetapi dengan dasar hasad dan dengki sehingga banyak prinsip islam yang sengaja dikaburkan.[4]
Dalam penulisan kaum orientalis terhadap islam, sadar atau tidak dengki dari akidah nasraninya dan sentimen ras Baratnya selalu timbul juga. Secara halus atau kasar prinsip-prinsip islam diselewengkan dan islam dihantam secara licik, sehingga bagi orang-orang yang belum mendalam ilmunya tentang islam, secara tidak sadar terpengaruh ketika membaca keterangan dalam tulisan-tulisan tersebut.

B.     Model-Model Penelitian Studi Islam
1.      Model Penelitian Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa Arab (Fassara, Yufassiru, Tafsiran) yang artinya penjelas, pemahaman, dan perincian. Tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Al-jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Tiga ciri utama tafsir. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya adalah Al-Qur’an yang didalamnya terkandung firman Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Al-Qur’an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dmilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Secara singkat dapat diambil pengertian bahwa model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara saksama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang hal yang terkait dengannya.
Dalam kajian kepustakaan dijumpai berbagai hasil penelitian para pakar Al-Qur’an, masing-masing peneliti telah mengembangkan model-model penelitian tafsir lengkap dengan hasil-hasilnya. Diantaranya adalah model Quraish Shihab. Model penelitian tafsir yang dikembangkannya lebih bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafisr terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya.
Metode penafsiran Al-Qur’an secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu corak ma’tsur(riwayat) dan corak penalaran. Metode tafsir yang bertitik tolak penalaran dibagi menjadi empat yaitu metode tahlily, metode ijmaly, metode muqarin, dan metode maudlu’iy.
2.      Model Penelitian Hadits
Hadits berasal dari kata bahasa arab yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadatsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Menurut istilah hadits adalah sesuatu yang datang atau sesuatu yang bersumber dari Nabi atau disandarkan kepada Nabi. Dapat dikatakan pula bahwa hadits merupakan berita yang datang dari Nabi saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap atau ketetapan beliau sejak sebelum menjadi Nabi hingga menjadi Nabi.
Sebagaimana Al-Qur’an, Hadits pun banyak diteliti oleh para ahli, bahkan penelitian hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-Qur’an. Model H.M.Quraish Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap tafsir. Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadits terhadap Al-qur’an menyatakan bahwa Al-Qur’an menekankan bahwa Rasul saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Adapun fungsi kedua dari Al-Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
3.      Model Penelitian Fiqih(Hukum)
Fiqih secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
“ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Sementara ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah:
“himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia(amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci”.[5]
Fiqih atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak bangku taman kanak-kanak sampai dengan ia kuliah di perguruan tinggi. Ahmad Zaki Yamani memberikan ciri syariat islam identik dengan ciri hukum islam.
Ciri yang menurut zaki yamani ada dua. Pertama, bahwa syariat islam itu luwes, dapat berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah terus. Kedua, bahwa dalam  pusaka perbendaharaan hukum islam terdapat dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara tepat, dan cermat.
Model-model penelitian hukum islam yang dilakukan oleh Harun Nasution. Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur hukum islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’an, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada di dalamnya berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.
Model Noel J.Coulson, hasil penelitiannya dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang dalamnya dibahas tentang legalisasi Al-Qur’an. Bagian kedua, berbicara tentang pemikrian dan praktek hukum islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan islam dan hukum syariat, masyarakat islam dan hukum syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum islam di masa modern yang di dalamnya dibahas tentang penyerapan hukum eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad.
Model Muhammad Atho Mudzhar, mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum islam. Mengemukakan tentang Majelis Ulama Indonesia dari segi latar belakang didirikannya, sosio politik yang mengitarinya, hubungan majelis ulama dengan pemerintahan dan organisasi islam, serta organisasi non-islam lainnya dan berbagai fatwa yang dikeluarkan nya. Penelitian dalam disertasi mengemukakan tentang isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta metode yang digunakannya. Fatwa-fatwa tersebut antara lain meliputi bidang ibadah ritual, masalah keluarga, dan perkawinan, kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar agama nasrani, masalah kedokteran, keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam islam.
Penelitian tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama fiqih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang produktif dalam menjawab berbagai masalah actual yang muncul di masyrakat sebagai akibat dari kekurang pahaman dalam memahami situasi yang berkembang dan bagaimana memanfaatkan situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk hukum. Dengan demikian, hukum islam baik langsung maupun tidak langsung masuk kedalam katagori ilmu sosial. Hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian dan kesakralan Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum islam tersebut.[6]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Memahami islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Disamping untuk menghindari kesalahpahaman yang mana memungkinkan timbulnya pandangan dan sikap negatif terhadap islam, maka untuk memahami islam secara benar ialah dengan cara-cara sebagai berikut:
Pertama, islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial. Ketiga, islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana islam. Keempat, islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat.
Sebagai pangkal tolak mengenal islam hendaklah jangan dipelajari lewat literatur para orientalis. Kaum orientalis pada umumnya bukan muslim. Mereka memandang islam menurut pola pemikiran kaum islamfobi. Penulisan mereka pada umumnya mengenai islam bukan dengan tujuan suci, tetapi dengan dasar hasad dan dengki sehingga banyak prinsip islam yang sengaja dikaburkan.
B.     Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan Metode Mempelajari Islam pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah Pengantar Studi Islam. Oleh karena itu, penulis mengaharap kepada parambaca dan dosen pembimbing mata kuliah ini dapat memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun.




DAFTAR PUSTAKA
A.Kadir, H.Muslim. Ilmu Islam Terapan, Yogyakrta : Pustaka Setia, 2003.
Abudin Nata. Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2006.
Mahyuddin, Saifulah. Tentang Sosiologi Islam, Yogyakarta : Ananda, 1982.
Razak, Nasruddin. Dienul islam, Bandung : PT.Alma’arif, 1973.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2007.



[1] H. Muslim A. kadir, Ilmu Islam Terapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.39.
[2] Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1973, hal.62-63.
[3] Saifulah Mahyuddin, Tentang Sosiologi Islam, Yogyakarta: Ananda, 1982, hal.153.
[4] Nasruddin Razak, op. cit., hal.63-64.
[5] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal.19.
[6] Abudin Nata, Metodologi Studi islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2006, hal.295-313.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar