Rabu, 11 Desember 2013

Al-Muhkam dan Al-Mutasyabihat



TUGAS BERSTRUKTUR                                                 DOSEN PENGASUH
Ulumul Qur’an                                                                        Rahmat Sholihin, S.Ag,M.Ag


“Al-Muhkam dan Al-Mutasyabihat”





Oleh
Kelompok 4

     Nurlina
NIM : 1101160233

     Nor Sri Rahmi
     NIM : 1101160223

    Norlaila Hayati
    NIM : 1101160228








INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2011 M/1432 H

PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH
             Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Pengertian ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan.[1] Ahkam Al-Amr berarti Ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan; Ahkam Al-Faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.[2]
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara 2 hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti 2 hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata jadiannya.
Pertama, Firman Allah :
 كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ
Artinya  :
“sebuah kitab yang di sempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya . (Q.S HUD: 1)

Kedua, firman allah :

 كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
Artinya :
...(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih)lagi berulng-ulang...’’.

Dimaksudkan dengan muhkamnya al-quran adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat al-quran dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang di berikan para ulama. Al-Zarkani mengemukakan 11 definisi pula yang sebagiannya di kutip dari Al-Suyuti. Diantara definisi yang di kemukakan Al-Zarkani adalah sbb:
1)      Muhkam  ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih  ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak di ketahui maknanya baik secara akli maupun naqli.
2)      Muhkam  ialah ayat yang di ketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya allah yang mengetahui maksudnya, baik secar nyata maupun melalui takwil.
3)      Muhkam  ialah ayat yang tidak mengandung kecuali  satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih  ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil.
4)      Muhkam  ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan yang lain di terangkan dengan ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya .
5)      Muhkam  ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya .
6)      Muhkam  ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal. Mutasyabih ialah lawannya.
7)      Muhkam  ialah ayat yang tunjukan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal , muawwal, dan musykil.
Disamping alasan yang dikemukakan Al-Zarkani tadi, dapat ditambahkan bahwa kata “kuat” yang diterjemahkan dari kata rajihah dalam definisi muhkam dan kata “tidak kuat” yang diterjemahkan dari kata “ghair rajihah” dalam definisi mutasyabih,  sangat tepat penggunaannya dalam definisi yang di kemukakan al-razi .[3]
Dari uraian diatas, dapat di ketahui 2 hal penting. Pertama, dalam membicaraan muhkam tidak ada kesulitan . muhkam adalah ayat yang jelas atau rajih maknanya. kedua, pembicaraan tentang mutasyabih menimbulkan masalah yang perlu di bahas lebih lanjut.

B.     SEBAB-SEBAB TERJADINYA TASYABUH DALAM AL-QUR’AN
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sebab tasyabuh atau mutasyabih adalah ketersembunyian maksud bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada lafal dan makna sekaligus.
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam.
1)      Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatnya, pengetakas ,huan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaibnya.
2)      Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkasan, panjang, urutan, dan segala umpanya.
3)      Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama dan bukan semua ulama. Maksudnya adalah makna-makna yang tinggi yang memahami hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.
C.    PANDANGAN DAN SIKAP ULAMA MENGHADAPI AYAT-AYAT MUTASYABIH
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai macam sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini , pembhasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sipat-sifat tuhan yang dalam istilah as-suyuti  ‘’ayat al-shyifat ‘’ dan dalam istilah shubhi  al-salih ‘’mutasyabih  al-syifat’’[4].  Ayat –ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak .  Salah satunya adalah  adalah :

 الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏ َ
Artinya: ‘’(yaitu tuhan maha pemurah yang bersemayam diatas Arsy ‘’.(Q.S. Thaha:5)
Dalam ayat tersebut sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula ayat tersebut di namakan’’ mutasyabih al-shyfat ‘’.  Selanjutnya, dipertanyakan apakah maksud ayat ini dapat diketahui manusia atau tidak ?
Untuk menjawab pertanyaan ini shubhi al-shalih membedakan pendapat ulama kepada 2 mazhab.
1)      Mazhab salaf , yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih  itu dan menyerahkan hakekatnya kepda allah sendiri .mereka mensucikan allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi allah dan mengimaninya sebagai mana yang diterangkan al-quran serta menyerahkan urusan mengetahui hakekatnya kepada allah sendiri.
2)      Mazhab khalaf , yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang baik dengan zat allah karena itu mereka di sebut pula uawwmaliah atau  mazhab takwil .mereka memaknakan ’’istiwa’’ dengan ketinggian yang abstrak berupa pengendalian allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Disamping kedua mazhab tersebut masih ada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh az-suyuti bahwa ibnu Daqiq Al-id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua nazhab di atas. Ibnu daqiq al-id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa arab maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka tawaqquf (tidak memutuskannya).[5]









DAFTAR PUSTAKA

Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Abdul Wahid, Ramli, Ulumul Quran, Rajawali, Jakarta, 1994.
Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, libanon, 1971.


[1] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an,Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal.199.
[2] Ibid., hal.199
[3] Drs. H. Ramli Abdul Wahid MA, Ulumul Qur’an, rajawali, Jakarta, 1994, hal. 86.
[4] Ibid., hal. 89.
[5] Ibid., hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar