TUGAS
BERSTRUKTUR DOSEN
PENGASUH
Ulumul Qur’an Rahmat
Sholihin, S.Ag,M.Ag
“Al-Muhkam dan Al-Mutasyabihat”
Oleh
Kelompok 4
Nurlina
NIM : 1101160233
Nor
Sri Rahmi
NIM : 1101160223
Norlaila
Hayati
NIM : 1101160228
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2011 M/1432 H
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH
Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara
bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Pengertian
ini pada dasarnya kembali pada makna pencegahan.[1] Ahkam Al-Amr berarti Ia menyempurnakan
suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan; Ahkam
Al-Faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari
goncangan.[2]
Mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh yang
secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara 2 hal. Tasyabaha dan
isytabaha berarti 2 hal yang
masing-masing menyerupai yang lainnya.
Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata
jadiannya.
Pertama,
Firman Allah :
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ
Artinya :
“sebuah kitab yang di
sempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya ”.
(Q.S HUD: 1)
Kedua,
firman allah :
كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
Artinya
:
“...(yaitu)
Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih)lagi berulng-ulang...’’.
Dimaksudkan dengan muhkamnya al-quran
adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya.
Maksud mutasyabih adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat al-quran dalam
kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya.
Secara
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atau
makna muhkam dan mutasyabih yang di berikan para ulama. Al-Zarkani mengemukakan
11 definisi pula yang sebagiannya di kutip dari Al-Suyuti. Diantara definisi
yang di kemukakan Al-Zarkani adalah sbb:
1) Muhkam
ialah
ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah
ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak di ketahui maknanya baik secara akli
maupun naqli.
2) Muhkam
ialah
ayat yang di ketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya allah
yang mengetahui maksudnya, baik secar nyata maupun melalui takwil.
3) Muhkam
ialah
ayat yang tidak mengandung kecuali satu
kemungkinan makna takwil. Mutasyabih
ialah ayat yang
mengandung banyak kemungkinan makna takwil.
4) Muhkam
ialah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan
keterangan tertentu dan yang lain di terangkan dengan ayat atau keterangan yang
lain karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya .
5) Muhkam
ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna
yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya .
6) Muhkam
ialah ayat
yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal. Mutasyabih ialah lawannya.
7) Muhkam
ialah
ayat yang tunjukan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih
ialah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal , muawwal,
dan musykil.
Disamping
alasan yang dikemukakan Al-Zarkani tadi, dapat ditambahkan bahwa kata “kuat”
yang diterjemahkan dari kata rajihah dalam definisi muhkam dan kata “tidak kuat”
yang diterjemahkan dari kata “ghair rajihah” dalam definisi mutasyabih, sangat tepat penggunaannya dalam definisi
yang di kemukakan al-razi .[3]
Dari
uraian diatas, dapat di ketahui 2 hal penting. Pertama, dalam membicaraan
muhkam tidak ada kesulitan . muhkam adalah ayat yang jelas atau rajih maknanya. kedua, pembicaraan
tentang mutasyabih menimbulkan masalah yang perlu di bahas lebih lanjut.
B.
SEBAB-SEBAB TERJADINYA TASYABUH DALAM AL-QUR’AN
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
sebab tasyabuh atau mutasyabih adalah
ketersembunyian maksud bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau
kepada lafal dan makna sekaligus.
Menurut
Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat
dapat dibagi kepada tiga macam.
1) Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat
sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat
sifat-sifatnya, pengetakas ,huan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaibnya.
2) Ayat-ayat yang setiap orang bisa
mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul
akibat ringkasan, panjang, urutan, dan segala umpanya.
3) Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya
dapat diketahui oleh para ulama dan bukan semua ulama. Maksudnya adalah
makna-makna yang tinggi yang memahami hati orang-orang yang jernih jiwanya dan
mujtahid.
C.
PANDANGAN DAN SIKAP ULAMA MENGHADAPI AYAT-AYAT
MUTASYABIH
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat
mutasyabihat itu berbagai macam sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini ,
pembhasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sipat-sifat
tuhan yang dalam istilah as-suyuti
‘’ayat al-shyifat ‘’ dan dalam istilah shubhi al-salih ‘’mutasyabih al-syifat’’[4]. Ayat
–ayat yang termasuk dalam katagori ini banyak .
Salah satunya
adalah adalah :
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى َ
Artinya:
‘’(yaitu tuhan maha pemurah yang
bersemayam diatas Arsy ‘’.(Q.S. Thaha:5)
Dalam
ayat tersebut sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula ayat
tersebut di namakan’’ mutasyabih
al-shyfat ‘’. Selanjutnya, dipertanyakan apakah
maksud ayat ini dapat diketahui manusia atau tidak ?
Untuk
menjawab pertanyaan ini shubhi al-shalih membedakan pendapat ulama kepada 2
mazhab.
1) Mazhab salaf , yaitu orang-orang yang
mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih
itu dan
menyerahkan hakekatnya kepda allah sendiri .mereka mensucikan allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi allah dan mengimaninya
sebagai mana yang diterangkan al-quran serta menyerahkan urusan mengetahui
hakekatnya kepada allah sendiri.
2) Mazhab khalaf , yaitu ulama yang
menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang baik dengan
zat allah karena itu mereka di sebut pula uawwmaliah atau mazhab
takwil .mereka memaknakan
’’istiwa’’ dengan ketinggian yang
abstrak berupa pengendalian
allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Disamping
kedua mazhab tersebut masih ada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh az-suyuti bahwa ibnu Daqiq Al-id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua nazhab
di atas. Ibnu daqiq al-id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa
arab maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka tawaqquf (tidak memutuskannya).[5]
DAFTAR PUSTAKA
Syadali, Ahmad, Ulumul
Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Abdul Wahid, Ramli, Ulumul Quran, Rajawali, Jakarta, 1994.
Sayyid Qutub, Fi
Dzilalil Quran, libanon, 1971.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar