TUGAS BERSTRUKTUR DOSEN PENGASUH
Hukum
Perikatan Dra.
Na’imah., MH
“Penitipan
Barang”
Oleh
Kelompok
5
Nor Hikmah
1101160227
Norlaila
Hayati 1101160228
Rahmi 1101160238
Maulika
Ervina 1101160217
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2013
KATA PENGANTAR
بسم الله الرØمن الرØيم
Segala Puji Bagi
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kita haturkan
kepada junjungan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat beliau,
serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah,
atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat disusun dan diselesaikan berdasarkan waktu yang telah diberikan. Makalah
ini berjudul “Penitipan Barang”.
Dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Naimah selaku dosen pengasuh mata kuliah Hukum
Perikatan yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca bisa memberikan
kritik dan saran-saran yang membangun dan memotivasi penulis untuk lebih baik lagi dalam membuat makalah.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca maupun yang menulis. Amin yarabbal a’lamiin.
Banjarmasin, 3 Juni 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penitipan barang terjadi apabila seseorang menerima suatu barang
dari orang lain dengan syarat ia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam
wujud asalnya (1694 KUHPerdata).
B.
Rumusan Masalah
Masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah tetang:
1.
Apa
itu penitipan barang dalam ranah hukum perikatan?
2.
Apa
jenis-jenis atau macam-macam penitipan barang yang dimaksud dalam hukum
perikatan?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “hukum
perikatan” yang diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai
pengetahuan tentang “penitipan barang” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Penitipan Barang
Penitipan
barang terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut
kata-kata pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian “riil” yang berarti
bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu
diserahkannya barang yang dititipkan. Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian
lain pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada
saat tercapainya sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
1.2
Jenis-jenis atau macam-macam perikatan
Menurut
undang-undang ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan
sekestrasi.
1.2.1
Penitipan Barang yang Sejati
Penitipan barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika
tidak diperjanjikan sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang
yang bergerak (pasal 1696).
Perjanjian tersebut tidaklah telah terlaksana selainnya dengan
penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal
1697). Ketentuan ini menggambarkan lagi sifatnya riil dari perjanjian
penitipan, yang berlainan dari difat perjanjian-perjanjian lain pada umumnya
yang adalah konsensual.
Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa
(pasal 1698)
a.
Penitipa Sukarela
Penitipan barang dengan sukarela
terjadi karena sepakat bertimbal balik antara pihak yang menitipkan barang dan
pihak yang menerima titipan (pasal 1699). Penitipan barang dengan sukarela
hanyalah dapat terjadi antara orang-orang yang mempunyai kecakapan untuk
membuat perjanjian-perjanjian. Jika namun itu seorang yang cakap untuk membuat
perjanjian, menerima penitipan suatu barang seorang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian, maka tunduklah ia kepada semua kewajiban yang dipikul oleh
seorang penerima titipan yang sungguh-sungguh (pasal 1701).
Yang dimaksudkan oleh ketentuan
tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai suatu perjanjian secara sah
hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap menurut hukum, namun apabila
seorang yang cakap menerima suatu penitipan barang dari seorang yang tidak
cakap maka si penerima titipan harus melakukan semua kewajiban yang berlaku
dalam suatu perjanjian penitipan yang sah.
Dalam pasal 1702 mengatakan: jika
penitipan dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah mempunyai hak
terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut pengembalian barang yang
dititipkan, selama barang ini masih ada pada pihak yang terakhir itu atau jika
barangnya sudah tidak lagi pada si penerima titipan, maka dapatlah ia menuntut
pemberian ganti rugi sekadar sipenerima titipan itu telah memperoleh manfaat
dari barang tersebut. Yang dimaksudkan adalah, bahwa jika seorang yang cakap
menurut hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak cakap, maka ia
memikul risiko kalau barang itu dihilngkan. Hanyalah. Kalau sipenerima titipan
itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan, maka
orang yang menitipkan dapat menuntut pemberian ganti rugi. Si penerima titipan
dapat dikatakan telah memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu
umpamanya kalau ia telah menjualnya dan uang pendapatan penjualan telah
dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si penerima titipan
tidak menyimpannya dengan baik, tidak ada tuntutan ganti rugi. Dengan
sendirinya tuntutan pemberian ganti rugi ini harus dilakukan terhadap orangtua
atau wali dari si penerima titipan.
b.
Penitipan Terpaksa
Yang dinamakan penitipan karena
terpaksa adalah (menurut pasal 1703) penitipan yang terpaksa dilakukan oleh
seorang karena timbulnya sesuatu malapetaka, misalnya: kebakaran, runtuhnya
gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir dan lain-lain peristiwa yang tak
tersangka.
Penitipan barang karena terpaksa ini
diatur menurut ketentuan seperti yang berlaku terhadap penitipan sukarela
(pasal 1705). Maksudnya adalah bahwa suatu penitipan yang dilakukan secara
terpaksa itu mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kuran dari
suatu penitipan yang terjadi secara sukarela.
Di dalam pasal 1706 mewajibkan si
penerima titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya,
memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya
sendiri.
Ketentuan tersebut menurut pasal
1707 harus dilakukan lebih keras dalam beberapa hal, yaitu:
1.
Jika
si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan barangnya;
2.
Jika
ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu;
3.
Jika
penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima titipan;
dan
4.
Jika
telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung segala macam
kelalaian.
Tidak sekali-kali si penerima
titipan bertanggung jawab tentang peristiwa-peristiwa yang tak dapat
disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang dititipkan.
Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak bertanggung jawab jika barangnya
juga akan musnah seandainya telah berada ditangannya orang yang menitipkan
(pasal 1708). Peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang lajimnya
dalam bahasa hukum dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa Belanda: “overmacht”
atau “force majeur”) yaitu suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat
diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu keadaan memaksa itu memang pada
asasnya harus dipikul oleh pemilik barang. Namun apabila si penerima titipan
itu telah lalai mengembalikan barangnya sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian, maka (juga menurut asas umum hukum perjanjian) ia mengoper tanggung
jawab tentang kemusnahan barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung jawab ini
hanya dapat dilepaskan jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan
musnah seandainya sudah diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya
barang itu mengandung suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan
kemusnahannya biarpun ia berada ditangannya orang yang menitipkan.
Rumah Penginapan dan Losmen
Pasal 1709 meletakkan tanggung jawab
kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen terhadap barang-barang
para tamu yaitu memperlakukan pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen
tersebut sebagai orang yang menerima titipan barang. Penitipan barang oleh para
tamu itu dianggap sebagai suatu penitipan karena terpaksa. Selanjutnya pasal
1710 menetapkan bahwa mereka itu bertanggung jawab tentang pencurian atau
kerusakan pada barang-barang kepunyaan para penginap, baik pencurian itu
dilakukan atau kerusakan itu diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau lain-lain
pekerja dari rumah penginapan, maupun oleh setiap orang lain. Namun (demikian
pasal 1711 seterusnya) mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian yang
dilakukan oleh orang-orang yang telah dimasukkan sendiri oleh si penginap.
Dalam praktek para pengurus rumah
penginapan dan penguasa losmen itu membatasi tanggung jawab mereka dengan
menempelkan pengumuman bahwa mereka tidak bertanggung jawab tentang hilangnya
barang-barang yang berharga (uang, perhiasan) yang tidak secara khusus
dititipkan pada mereka. Melepaskan tanggung jawab seluruhnya terhadap semua
barang tentunya tidak dibolehkan.
Si penerima titipan barang tidak
diperbolehkan memakai barang yang dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa
ijinnya orang yang menitipkan barang, yang dinyatakan dengan tegas atau
dipersangkakan, atas ancaman penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada
alasan untuk itu (pasal 1712). Selanjutnya ia tidak diperbolehkan menyelidiki
tentang wujudnya barang yang dititipkan jika barang itu dipercayakan kepadanya
dalam suatu kotak tertutup atau dalam suatu sampul tersegel (pasal 1713).
Si penerima titipan diwajibkan
mengembalikan barang yang sama yang telah diterimanya. Dengan demikian maka
jumlah-jumlah uang harus dikembalikan dalam mata uang yang sama seperti yang
dititipkan, tak peduli apakah mata uang itu telah naik atau telah turun
nilainya (pasal 1714).
Si penerima titipan hanya diwajibkan
mengembalikan barang yang dititipkan dalam keadaannya pada saat pengembalian
itu. Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar kesalahan si penerima
titipan, adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan (pasal 1715).
Jika barangnya dengan paksaan
dirampas dari tangannya si penerima titipan dan orang ini telah menerima
harganya atau sesuatu barang lain sebagai gantinya, maka ia harus menyerahkan
apa yang diterimanya sebagai ganti itu kepada orang yang menitipkan barang
(pasal 1716).
Seorang ahli waris dari si penerima
titipan, yang, karena ia tidak tahu bahwa suatu barang adalah barang titipan,
denga itikad baik telah menjual barang tersebut, hanyalah diwajibkan
mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, atau jika ia belum menerima
harga itu, menyerahkan hak tuntutannya terhadap si pembeli barang (pasal 1717).
Jika ia menjualnya barang itu dengan itikad buruk, maka dengan sendirinya,
selainnya ia harus mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia juga dapat
dituntut membayar ganti rugi.
Jika barang yang dititipkan itu
telah memberikan hasil-hasil yang dipungut atau diterima oleh si penerima
titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya (pasal 1718 ayat 1).
Dalam hal yang dititipkan itu uang,
si penerima titipan tidak diharuskan membayar bunga, selainnya sejak hari ia
lalai mengembalikannya, setelah diperingatkan (pasal 1718 ayat 2). Ketentuan
tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat perjanjian penitipan si penerima
tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu, bahkan ia harus mengembalikannya
dalam mata uang yang sama seperti yang diterimanya (lihat pasal 1714). Tetapi
kalau ia lalai mengembalikan uang titipan itu setelah ia diperingatkan, orang
yang menitipkan akan menderita kerugian karena ia sudah mulai memerlukan uang
itu, sehingga pembebanan pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang
dibebankan ini tentunya adalah yang dinamakan “bunga moratoir” sebesar enam
persen setahun, terhitung mulai pengembalian uang titipan itu dituntutnya
dimuka pengadilan.
Deposito dengan Bunga
Apa yang dikenal sebagai “deposito”
dengan bunga (meskipun “deposito” artinya penitipan), bukan penitipan yang kita
bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito (uang) dibolehkan (dan
malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang dititipkan dan
menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada hakekatnya perjanjian
deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga.
Si penerima titipan tidak
diperbolehkan mengembalikan barangnya titipan selainnya kepada orang yang
menitipkannya kepadanya atau kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah
dilakukan atau yang ditunjuk untuk menerima kembali barangnya (pasal 1719).
Si penerima titipan tidak boleh
menuntut dari orang yang menitipkan barang, suatu bukti bahwa orang itu pemilik
barang tersebut.
Jika namun itu ia mengetahui bahwa
barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya sebenarnya, maka haruslah
ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya dititipkan kepadanya, disertai
peringatan supaya meminta kembali barang itu didalam suatu waktu tertentu yang
patut. Jika orang kepada siapa pemberitahuan itu telah dilakukan, melalaikan
untuk meminta kembali barangnya, maka si penerima titipan dibebaskan secara sah
jika ia menyerahkan barang itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya
(pasal 1720).
Apabila orang yang menitipkan barang
meninggal, maka barangnya hanya dapat dikembalikan kepada ahli warisnya.
Jika ada lebih dari seorang ahli
waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka kesemuanya atau kepada
masing-masing untuk bagiannya.
Jika barang yang dititipkan tidak
dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan mupakat tentang siapa
yang diwajibkan mengopernya (pasal 1721).
Jika orang yang menitipkan barang
berubah kedudukannya misalnya seorang perempuan yang pada waktu menitipkan
barang tidak bersuami, kemuadian kawin; seorang dewasa yang menitipkan barang
ditaruh dibawah pengampuan; dalam hal ini dan dalam hal-hal semacam itu, barang
yang dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada orang yang melakukan
pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang menitipkan barang, kecuali
apabila orang yang menerima titipan mempunyai alasan-alasan yang sah untuk
tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (pasal 1722). Tentang seorang
perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang tidak merupakan halangan
lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap mengembalikan barangnya titipan
kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau bantuan dari suaminya, sejak
adanya yurisprudensi yang menyatakan pasal 108 B.W. sudah tidak berlaku lagi.
Jika penitipan barang telah
dilakukan oleh seorang wali, seorang pengampu, seorang suami atau seorang
penguasa dan pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya dapat
dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau
penguasa tersebut (pasal 1723).
Pengembalian barang yang dititipkan
harus dilakukan ditempat yang ditunjuk dalam perjanjian. Jika perjanjian tidak
menunjuk tempat itu, barangnya harus dikembalikan ditempat terjadinya
penitipan. Adapun biaya yang harus dikeluarkan untuk itu harus ditanggung oleh
orang yang menitipkan barang (pasal 1724).
Barang yang dititipkan harus
dikembalikan kepada orang yang menitipkan, seketika apabila dimintanya,
sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu waktu lain untuk
pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu penyitaan atas
barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan (pasal 1725). Dari
ketentuan ini dapat kita simpulkan bahwa apabila dalam perjanjian penitipan
ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan waktu ini hanya mengikat si
penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang menitipkan. Setiap waktu
barang titipan itu dapat diminta kembali. Satu-satunya hal yang dapat
menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan yang telah diletakkan oleh
pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi misalnya apabila telah
timbul suatu sengketa mengenai barang yang bersangkutan. Dalam hal yang
demikian maka jalan yang harus ditempuh oleh orang yang menitipkan barang
adalah mengajukan perlawanan (verzet) terhadap penyitaan tersebut kepada Pengadilan
Negeri.
Si penerima titipan yang mempunyai
alasan yang sah untuk membebaskan diri dari barang yang dititipkan, meskipun
belum tiba waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian, juga berkuasa
mengembalikan barangnya kepada orang yang menitipkan atau jika orang ini
menolaknya, meminta ijin hakim untuk menitipkan barangnya disuatu tempat lain
(pasal 1726). Untuk membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya waktu
yang ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah dan
apabila permintaannya untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang
menitipkan, diperlukan ijin dari hakim untuk menitipkan barang itu ditempat
lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
Segala kewajiban si penerima titipan
berhenti jika ia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa dia sendirilah pemilik
barang yang dititipkan itu (pasal 1727). Dalam hal yang demikian, maka
perjanjian penitipan hapus dengan sendirinya, karena si penerima titipan
ternyata menguasai barang miliknya sendiri.
Orang yang menitipkan barang
diwajibkan mengganti kepada si penerima titipan segala biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dititipkan, serta mengganti
kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena penitipan itu (pasal 1728).
Berhubung dengan ketentuan diatas,
oleh pasal 1729 ditetapkan bahwa si penerima titipan berhak menahan barangnya
hingga segala apa yang harus dibayar kepadanya karena penitipan tersebut
dilunasi.
1.2.2
Sekestrasi
Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan,
ditangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah
perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan
berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan
dan ada pula yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal 1730).
a.
Sekestrasi
dengan persetujuan
Sekestrasi terjadi dengan persetujuan, apabila barang yang menjadi
sengketa diserahkan kepada seorang pihak ketiga oleh satu orang atau lebih
secara sukarela (pasal 1731).
Sekestrasi dapat mengenai baik barang-barang bergerak maupun
barang-barang tak bergerak (pasal 1734), jadi berlainan dari penitipan barang
yang sejati, yang hanya dapat mengenai barang yang bergerak saja (lihat pasal
1696).
Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak
dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali
apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada suatu
alasan lain yang sah (pasal 1735).
b.
Sekestrasi
atas perintah Hakim
Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim memerintahkan
supaya suatu barang tentang mana ada sengketa, dititipkan kepada seorang (pasal
1736). Mengenai sekestrasi macam ini ditetapkan seterusnya oleh pasal 1737 sebagai
berikut:
Sekestrasi guna keperluan Pengadilan diperintahkan kepada seorang
yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada seorang yang
ditetapkan oleh Hakim karena jabatan.
Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah
dipercayakan, tunduk kepada segala kewajiban yang terbit dalam halnya
sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan saban tahun,
atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan secara ringkas tentang
pengurusannya kepada Pengadilan, dengan memperlihatkan ataupun menunjukkan
barang-barang yang dipercayakan kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan
itu tidak akan dapat diajukan terhadap para pihak yang berkepentingan (pasal
1737).
Hakim dapat memerintahkan sekestrasi:
1.
Terhadap
barang-barang bergerak yang telah disita ditangannya seorang berutang
(debitor).
2.
Terhadap
suatu barang bergerak maupun tak bergerak, tentang mana hak miliknya atau hak
penguasaannya menjadi persengketaan;
3.
Terhadap
barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitor) untuk melunasi
utangnya (pasal 1738).
Penyitaan yang disebutkan sub 1 diatas adalah penyitaan
conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat, sedangkan
penawaran barang-barang oleh seorang debitor kepada kreditornya untuk melunasi
utangnya, sebagaimana disebutkan sub 3, dilakukan dalam hal kreditor itu
menolak pembayaran yang akan dilakukan debitornya, sehingga debitor ini
terpaksa meminta bantuan seorang jurusita atau notaris untuk menawarkan barang
atau uang tersebut (secara resmi) kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran
tersebut ditolak oleh kreditor, maka barang atau uang tersebut dapat dititipkan
dikepaniteraan pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim.
Perbuatan ini akan disusul oleh suatu gugatan dari debitor tersebut untuk
menyatakan sah penitipan tersebut, dan dengan disahkannya penitipan itu, maka
si debitor dibebaskan dari utangnya.
Pengangkatan seorang penyimpan barang dimuka Hakim, menerbitkan
kewajiban-kewajiban yang bertimbal balik antara si penyita dan si penyimpan.
Si penyimpan diwajibkan memelihara barang-barang yang telah disita
sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik.
Ia harus menyerahkan barang-barang itu untuk dijual supaya dari
pendapatan penjualan itu dapat dilunasi piutang-piutang si penyita, atau
menyerahkannya kepada pihak terhadap siapa penyitaan telah dilakukan, jika
penyitaan itu dicabut kembali.
Adalah menjadi kewajiban si penyita untuk membayar kepada si
penyimpan upahnya yang ditentukan dalam undang-undang (pasal 1739). Memelihara
barang sebagai seorang bapak rumah yang baik diartikan sebagai memelihara
sebaik-baiknya dengan minat seperti terhadap barang miliknya sendiri. Apabila
kreditor sudah dimenangkan perkaranya dengan suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, maka penyitaan conservatoir atas barang-barang si
debitor otomatis berubah menjadi penyitaan eksekutorial, yang berarti bahwa
barang-barang sitaan itu harus dijual untuk melunasi piutang kreditor.
Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si penyita) ditolak, maka penyitaan itu
akan dicabut oleh Hakim dan si penyimpan harus menyerahkan barang itu kepada
debitor.
BAB III
PENUTUP
1.3
Kesimpulan
Penitipan
barang terjadi apabila orang menerima suatu barang dari orang lain, dengan
syarat/janji bahwa ia akan menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam
wujud asalnya. Demikianlah definisi yang oleh pasal 1694 B.W. diberikan tentang
perjanjian penitipan itu.
Menurut
undang-undang ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan yang sejati dan
sekestrasi.
Penitipan
barang yang sejati dianggap dibuat dengan cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan
sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang yang bergerak
(pasal 1696). Penitipan barang terjadi dengan sukarela atau karena terpaksa
(pasal 1698)
Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan,
ditangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah
perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang dinyatakan
berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan
persetujuan dan ada pula yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan
(pasal 1730).
1.3.1
Saran-Saran
Dari
penjelasan di atas tentang penitipan barang, pasti tidak terlepas dari
kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat serta penyusunannya. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang
diharapkan oleh pembaca dan khususnya dosen pembimbing mata kuliah hukum
perikatan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada para pembaca (dosen
pembimbing mata kuliah ini) & mahasiswa/i dapat memberikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.
Daftar Pustaka
Prof. R.
Subekti S.H., Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995).
Wawan Muhwan
Hariri S.H., Hukum Perikatan, (Bandung: CV Pustaka Seti, 2011).