Dosen Pembimbing: Abdul Hafiz Sirazi, S.HI., MSI.
Disusun Oleh: Nurfalahiyah Ulyana, Norlaila Hayati dan Yuliana
IAIN ANTASARI BANJARMASIN
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang seseorang mendapatkan musibah
berupa kehilangan anak atau barang-barang berharga yang tinggi nilainya.
Terlepas dari sebab hilangnya tersebut apakah dicuri atau hilang karena
kelalaian pemiliknya, yang jelas berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan
benda atau barang yang dimilikinya. Biasanya pemilik barang tersebut membuat
pengumuman untuk khalayak ramai dengan memberikan imbalan/komisi tertentu bagi
siapa saja yang bisa mengembalikan barangnya. Amalan yang demikian merupakan
bentuk mu’amalah yang disebut dalam Islam sebagai al ju’alah.
Ju’alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan
diperolehnya. Dalam konsep teori ju’alah memang terlihat sederhana
dibanding jenis muamalah lainnya seperti sewa-menyewa, mudharabah, murobahah
dan lainnya. Namun demikian konsep ju’alah berkembang pesat pada dunia
pendidikan dan bisnis dewasa ini. Dalam dunia dunia pendidikan di berbagai
instansi seringkali memberikan hadiah bagi para pelajar/mahasiswa yang kreatif
melakukan penelitan dan riset yang bermanfaat bagi perkembangan zaman. Namun
harus dicermati bahwa tidak semua sayembara berhadiah sesuai dengan konsep ju’alah
yang dibolehkan.
Dari paparan singkat diatas maka perlu dan penting bagi kita
mengakaji konsep ju’alah dalam tinjauan Islam . Selain dalam rangka
tafaqquh fiddin (mendalami agama) kitapun bisa mengimprovisasikannya dalam
muamalah modern baik dalam dunia pendidikan maupun bisnis yang senantiasa
dituntut untuk inovatif dan kreatif sesuai dengan perkembangan zaman.
B. Rumusan Masalah
Terkait dengan ji’alah
ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:
1.
Apa itu ji’alah/ju’alah?
2.
Apa yang menjadi landasan hukum dari ji’alah?
3.
Apa saja rukun dan syarat ji’alah?
4.
Bagaimana hukum ji’alah?
5.
Bagaimana bentuk waktu dan penyerahan ji’alah?
6.
Bagaimana hukum perselisihan antara pemilik (ja’il) dan ‘amil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ji’alah
Ji’alah atau ja’alah
atau ju’alah (sayembara) menurut arti bahasa adalah upah atau
pemberian. Menurut istilah adalah perjanjian akan menyerahkan (hadiah) uang
atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas.[1]
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah
adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas
pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.[2]
Akad ji’alah adalah
komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak
tertentu yang sulit diketahui.[3]
B.
Landasan Hukum Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena
di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan
pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang
disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan, pekerja itu sendiri, upah dan
waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil
istihsan−memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang
lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa
syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya
selama perjalanan.[4]
Adapun dalam mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’I Ju’alah dibolehkan
secara syar’i dengan dalil kisah Nabi Yusuf dan para saudaranya berdasarkan
dalil dalam Surah Yusuf ayat 72, yang berbunyi:
(#qä9$s%
ßÉ)øÿtR
tí#uqß¹
Å7Î=yJø9$#
`yJÏ9ur
uä!%y`
¾ÏmÎ/
ã@÷H¿q
9Ïèt/
O$tRr&ur
¾ÏmÎ/
ÒOÏãy
ÇÐËÈ
Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja,
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".[5]
Selain itu, hadis riwayat Abu Sa’id Al-Khudriy ra. bahwa sejumlah
sahabat Rasulullah mendatangi sebuah perkampungan Arab. Namun, penduduknya
tidak menerima mereka sebagai tamu. Ketika itu, pemimpin mereka digigit ular
(atau disengat serangga). Lalu, mereka bertanya, “Apakah di antara kalian ada
ahli ruqyah?” Para sahabat menjawab, “Kalian tidak mengakui kami sebagai
tamu maka kami pun tidak akan berbuat apa-apa pada kalian, kecuali kalian
memberi kami imbalan. Lalu, mereka menjanjikan sejumlah kambing (kira-kira tiga
puluh ekor) kepada para sahabat sebagai
upah. Seorang sahabat mulai membaca surah Al-Fatihah, kemudian ia mengumpulkan
ludahnya dan diusapkan (pada bagian yang luka). Lalu, orang itu sembuh dan
mereka pun memberikan sejumlah kambing itu kepada para sahabat. Namun, para
sahabat berkata, “Kami tidak akan mengambil kambing-kambing tersebut sampai
kami bertanya kepada Rasulullah Saw.” mereka pun menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah Saw. Beliau tertawa dan bersabda, “Kalian tahu dari mana bahwa surah
itu adalah ruqyah? Ambillah upah tersebut dan berilah aku bagian!”.[6]
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad
ji’alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini,
seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,
dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah
seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah
tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad
ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan
kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain
itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan
kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada
izin dari Allah.[7]
C.
Rukun dan Syarat Ju’alah
1.
Rukun Ju’alah
Rukun
ju’alah ada empat, yaitu:[8]
a.
Aqidain (dua
orang yang berakad);
b.
Shigat;
c.
Pekerjaan;
d.
Upah.
Ju’alah sah dengan
ucapan atau perbuatan yang menunjukkan izin melakukan pekerjaan dengan bayaran
tertentu.
2.
Syarat-syarat ju’alah[9]
a.
Pekerjaan yang diminta dikerjakan adalah mubah. Tidak sah transaksi
ju’alah pada sesuatu yang tidak mubah, seperti khamar.
b.
Upah dalam ju’alah berupa harta yang diketahui jenis dan
ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi
ju’alah.
c.
Upah dalam ju’alah harus suci, dapat diserahkan, dan
dimiliki oleh peminta ju’alah.
d.
Pekerja menyelesaikan pekerjaan yang diminta dalam ju’alah
dan menyerahkannya kepada yang menyuruhnya.
3.
Shigat Akad Ji’alah
Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu
pihak, sehingga akad ji’alah
tidak terjadi kecuali dengan adanya shigat dari yang akan memberi upah (ja’il)
dengan shigat-shigat dalam definisi di atas dan yang sejenisnya. Shigat
ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan
imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu
memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah
tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu
bekrja dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan
apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam
ji’alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan
upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah
tersebut.[10]
Juga tidak disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil
(pelaksana), sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk
melaksanakan akad ji’alah
tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Akad ji’alah diperbolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il juga dibolehkan untuk memberikan
bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.[11]
D.
Hukum Ja’alah
Diantara
hukum-hukum ja’alah ialah sebagai berikut:
1.
Ja’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak
diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan
dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di
tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas
pekerjaan.
2.
Dalam ja’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia
mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang
berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia
menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.
Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara
merata antara mereka.
4.
Ja’alah tidak boleh
pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata, “Barangsiapa
menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ja’alah
(hadiah) sekian.”
5.
Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau mengerjakan
suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat
ja’alah (hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah
menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara
sukarela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali
jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi
ja’alah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.
Jika seseorang berkata,
“Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ja’alah
(hadiah), “maka ja’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata,
“Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia
berhak atas ja’alah,” maka ja’alah tidak sah.
7.
Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya
ja’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh
bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ja’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja
dengan disuruh bersumpah.[12]
E.
Bentuk Akad Ji’alah dan Waktu Penyerahan Upah
Ulama yang membolehkan akad ji’alah
bersepakat bahwa akad ini adalah akad yang tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah.
Oleh karena itu, dibolehkan bagi ja’il dan ‘amil membatalkan akad
ji’alah ini. Akan tetapi, para ulama tersebut berbeda pendapat tentang
waktu dibolehkannya pembatalan itu. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh
membatalkan akad ji’alah sebelum pekerjaannya dimulai. Menurut mereka,
akad ini mengikat atas ja’il─bukan ‘amil─dengan dimulainya
pekerjaan itu. Adapun bagi ‘amil yang akan diberikan upah, akad ini
tidak mengikat atasnya dengan sesuatu apapun, baik sebelum bekerja atau
sesudahnya, maupun setelah dimulai pekerjaan.[13]
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh membatalkan
akad ji’alah kapan saja sesuai dengan keinginan ja’il dan ‘amil
khusus (yang ditentukan). Hal ini seperti akad-akad yang bersifat tidak
mengikat lainnya, seperti akad syarikah dan wakalah, sebelum
selesainya pekerjaan yang diminta itu. Jika yang membatalkan akad adalah ja’il
atau ‘amil khusus sebelum dimulainya pekerjaan yang diminta, atau yang
membatalkannya adalah ‘amil sesudah pekerjaanya dimulai, maka ‘amil
tidak berhak mendapatkan apa pun dalam dua keadaan tersebut. Hal itu karena
pada keadaan pertama ia belum mengerjakan apa pun, dan pada keadaan yang kedua
belum tercapai maksud ja’il dalam akad itu. Adapun ja’il
membatalkannya setelah pekerjaan itu dimulai, maka dia wajib memberikan upah
pada ‘amil sesuai dengan pekerjaannya menurut ulama Syafi’iyah dalam
pendapat yang paling benar (al-ashahh), karena itu adalah pekerjaan yang
berhak mendapatkan imbalan dan ja’il belum menyerahkan pada ‘amil
upah kerjanya. Hal ini sama seperti jika pemilik harta membatalkan akad muda>rabah setelah pekerjaannya dimulai dan ‘amil berhak mendapatkan
upah atau upah tertentu dengan selesainya pekerjaan itu. Namun, jika ‘amil
membatalkannya sebelum pekerjaannya selesai, maka dia tidak berhak mendapatkan
apa pun.[14]
Jika ja’il menetukan suatu tempat untuk mengembalikan barang
yang hilang, dan ‘amil mengembalikannya di suatu tempat yang dekat
dengan tempat yang sudah ditentukan itu, maka dia berhak mendapatkan bagiannya
dari upah tersebut. Jika yang mengembalikan barang itu dua orang secara
bersama-sama, maka keduanya berhak mendapatkan upah secara bersama pula, karena
barang tersebut dikembalikan oleh mereka berdua secara bersama-sama.[15]
‘amil tidak boleh
menahan objek ji’alah yang akan dikembalikan kepada si pemilik untuk
mengambil upah, karena upah hanya bisa didapatkan dengan menyerahkan barang tersebut,
dan tidak menahannya sebelum memperoleh upah.[16]
‘amil tidak berhak
mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki pekerjaan itu dan dengna
menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga, jika ‘amil bekerja tanpa seizin
pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Dan jika ‘amil
belum menyelesaikan pekerjaannya, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.[17]
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
boleh bagi ja’il menambah atau mengurangi upah, karena ji’alah
adalah akad yang tidak mengikat. Hanya saja ulama Syafi’iyah membolehkan yang
demikian itu sebelum pekerjaannya selesai, baik sebelum dimulai maupun
sesudahnya, seperti jika dia berkata, “Barangsiapa yang dapat mengembalikan
barang milik saya, maka dia akan mendapatkan sepuluh.” Kemudian dia berkata
lagi, “Dia akan mendapatkan lima,” atau sebaliknya. Faedah masalah ini terlihat
setelah dimulainya suatu pekerjaan, maka ketika itu wajib memberikan upah yang
berlaku secara umum, karena perubahan dengan menambah atau mengurangi itu
merupakan pembatalan (fasakh) atas pengumuman yang dahulu. Pembatalan
dari ja’il menyebabkan akad itu dikembalikan pada ketentuan upah umum.
Adapun ulama Hanabilah membatasi perubahan ini dengan sebelum dimulainya
pekerjaan, maka perubahan ini boleh dan berlaku.[18]
F.
Hukum Perselisihan Pemilik dan ‘Amil
Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan
amil, dalam masalah asal persyaratan upah, misalkan salah satunya mengingkari
persyaratan tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan
sumpahnya. Seperti jika amil berkata, “kamu mensyratkan memberi upah pada
saya,” tapi sipemilik mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan
sumpahnya. Hal itu karena asalnya tidak ada persyaratan upah.[19]
Dan jika mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti
mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih
tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang
melaksanakan pekrjaan (‘amil) tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku
sesuatu yang asalnya tidak ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan
dengan sumpahnya.[20]
Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka
berselisih dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan sipemilik berkata, “kamu
bukan yang mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau
kembali sendiri.” Maka sipemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada
pengembalian.[21]
Dan jika mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau
jauhnya jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang,
maka ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapat bahawa keduanya disumpah dan
akad ji’alahnya dibatalkan, lalu sipemilik wajib memberikan upah yang umum
berlaku.[22]
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan
adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan
yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang
dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka
demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena sipemilik mengingkari yang
diakui oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu
bebas dari yang diakui oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti
penjual dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga.[23]
BAB III
ANALISIS
Mengenai perbedaan pendapat para ulama tentang dasar hukum ju’alah
terkait dalam penjelasan yg dipaparkan pada landasan hukum ju’alah menurut
penulis pendapat yang lebih kuat ialah pendapat pihak yang membolehkan akad tersebut. Dalil-dalil
dari al Qur’an dan as Sunnah tersebut cukup jelas. Memang sekilas terdapat
unsur ghoror sebagaimana yang disebutkan dalam pendapat Hanafiah. Misalnya
dalam Ju’alah tersebut ternyata ada beberapa orang yang masing-masing bekerja
untuk mendapatkan janji imbalan. Namun ternyata pada akhirnya yang mendapatkan
imbalan adalah mereka yang berhasil bekerja sesuai yang diminta pemberi janji
imbalan sedangkan yang lain tidak berhak mendapat apa-apa padahal mereka juga
berletih-letih mencarinya( seperti pada kasus perlombaan berhadiah). Ghoror
seperti ini bisa ditepis dengan mempertimbangkan dua hal, yakni: a) amalan ju’alah
sifatnya tidak memaksa pihak manapun. Artinya segala resiko yang bakalan di
hadapi oleh pelaku ju’alah seperti rasa letih, kehilangan biaya
akomodasi untuk keperluan tertentu serta hal lainnya telah menjadi hal yang
ma’lum dikalangan pelakunya. b) hal tersebut didasari saling ridha antara dua
belah pihak walaupun tidak ada pernyataan lansung dari pihak yang melakukan
pekerjaan.
Kemudian setelah mempelajari lebih dalam mengenai ju’alah
penulis berasumsi dalam kehidupan sekarang jika kita melihat dan meneliti lebih
dalam ju’alah memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Sebagai sarana pemicu sekaligus pemacu
prestasi pada karyawan perusahaan penelitian dan penemuan. Individu atau
perusahaan yang bergerak di bidang penelitian boleh jadi termotivasi untuk
bekerja menemukan ciptaan atau penemuan tertentu dengan tujuan mendapatkan
bayaran atau hadiah ketika berhasil menemukan sesuatu . Hal ini hendaknya perlu
di perhatikan para pengelola perusahaan penelitian dan penemuan seperti
perusahaan elektronik semacam handphone, komputer dan semisalnya. Sebab
seringkali kelesuan karyawan disebabkan karena gaji yang tidak sebanding dengan
beratnya pekerjaan. Dan perusaan seperti elektronik dituntut inovatif dan
bersaing dengan ketat. Dengan adanya reward atau hadiah bagi karyawan yang bisa
menemukan penemuan baru akan menghilangkan virus “mati gaya” pada karyawannya.
2) Mendorong semangat pelajar dan mahasiswa
untuk mengembangkan karya tulis ilmiah dan riset. Begitu juga memacu kinerja
karyawan dalam perusahaan untuk bekerja lebih serius dan giat.
3) Sebagai sarana tolong-menolong dalam
kebaikan dan taqwa. Hal tersebut karena dengan Ju’alah banyak sekali membantu
proyek penting dalam suatu lembaga yang bermanfaat bagi umat. Seperti ju’alah
dalam penyusunan buku-buku ilmiah, atau berbagai penelitian yang bermanfaat
bagi umat.
4) Adanya penghargaan terhadap hasil karya
orang lain. Sudah sepantasnya bagi direktur perusahaan, kepala instansi atau
siapa saja pemegang dan pengelola suatu lembaga untuk menghargai jerih payah
orang lain. Merupakan bagian dari prinsip kebajikan (mashlahah) dalam etika
produksi dimana kita harus melakukan sebanyak mungkin kebajikan dalam kehidupan
kita . Salah satu dari kebajikan tersebut yaitu menghargai hasil karya orang
lain.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ju’alah seperti yang
dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu akad dimana seorang yang
yang menjanjikan sesuatu bagi siapa yang dapat memenuhi keinginannya. Ju’alah
tidak berdasarkan teks syari‟ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan
sejak periode awal sejarah Islam.
Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah
kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan
dalam al-Qur’an Surah Yusuf ayat 72.
Ju’alah dibolehkan dan
tetap sah pada waktu yang belum jelas, dalam ju’alah diperbolehkan tidak
adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana) karena dia
merupakan upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi, dalam ju’alah
imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal.
B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang ji’alah (Sayembara),
apabila seseorang melakukan pekerjaan terutama dalam hal tolong menolong dalam
kebaikan dan taqwa hendaknya dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap upah atau
imbalan. Tetapi, karena ji’alah adalah perjanjian menyerahkan (hadiah)
uang atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas maka bagi ja’il
hendaknya bersikap adil dan memberikan upah sesuai dengan apa yang
dikerjakannya dan tidak menunda pemberian upah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr Jabiz
Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi
Muslim Minhaajul Muslim, Jakarta, PT. Darul Falah, 2000.
Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Special For Woman dan Terjemah,
Bandung, Syaamil Al-Qur’an, 2009.
Dr. Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta, Kencana. 2012.
Musthafa Dib
Al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur, Buku
Pintar Transaksi Syariah, Jakarta, PT Mizan Publika, 2010.
Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani.
2011.
Saifulloh Al
Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya, Terbit Terang. 2005.
[1] Saifulloh Al
Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang. 2005), h. 381.
[2] Dr. Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana. 2012), h. 314.
[3] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2011),
h. 432.
[4] Ibid., h. 433.
[5] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Special For Woman dan Terjemah,
(Bandung: Syaamil Al-Qur’an, 2009) h. 244.
[6] Musthafa Dib
Al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur, Buku
Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta, PT Mizan Publika, 2010), h. 202.
[7] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adillatuhu, op.cit., h. 434.
[8] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah, op.cit., h. 315.
[9] Ibid.
[10] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op.cit., h. 343.
[11] Ibid.
[12] Abu Bakr Jabiz
Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi
Muslim Minhaajul Muslim, (Jakarta: PT. Darul Falah. 2000), h. 526-527.
[13] Ibid.,
h. 437.
[14] Ibid., h. 438.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 438-439.
[19] Ibid., h. 439.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar