Jumat, 25 April 2014

"Ji'alah (Sayembara)"

Mata kuliah: Fikih Muamalah 2
Dosen Pembimbing: Abdul Hafiz Sirazi, S.HI., MSI.
Disusun Oleh: Nurfalahiyah Ulyana, Norlaila Hayati dan Yuliana
IAIN ANTASARI BANJARMASIN
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang seseorang mendapatkan musibah berupa kehilangan anak atau barang-barang berharga yang tinggi nilainya. Terlepas dari sebab hilangnya tersebut apakah dicuri atau hilang karena kelalaian pemiliknya, yang jelas berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan benda atau barang yang dimilikinya. Biasanya pemilik barang tersebut membuat pengumuman untuk khalayak ramai dengan memberikan imbalan/komisi tertentu bagi siapa saja yang bisa mengembalikan barangnya. Amalan yang demikian merupakan bentuk mu’amalah yang disebut dalam Islam sebagai al ju’alah.
Ju’alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya. Dalam konsep teori ju’alah memang terlihat sederhana dibanding jenis muamalah lainnya seperti sewa-menyewa, mudharabah, murobahah dan lainnya. Namun demikian konsep ju’alah berkembang pesat pada dunia pendidikan dan bisnis dewasa ini. Dalam dunia dunia pendidikan di berbagai instansi seringkali memberikan hadiah bagi para pelajar/mahasiswa yang kreatif melakukan penelitan dan riset yang bermanfaat bagi perkembangan zaman. Namun harus dicermati bahwa tidak semua sayembara berhadiah sesuai dengan konsep ju’alah yang dibolehkan.
Dari paparan singkat diatas maka perlu dan penting bagi kita mengakaji konsep ju’alah dalam tinjauan Islam . Selain dalam rangka tafaqquh fiddin (mendalami agama) kitapun bisa mengimprovisasikannya dalam muamalah modern baik dalam dunia pendidikan maupun bisnis yang senantiasa dituntut untuk inovatif dan kreatif sesuai dengan perkembangan zaman.



B.      Rumusan Masalah
Terkait dengan  ji’alah ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:
1.        Apa itu ji’alah/ju’alah?
2.        Apa yang menjadi landasan hukum dari ji’alah?
3.        Apa saja rukun dan syarat ji’alah?
4.        Bagaimana hukum ji’alah?
5.        Bagaimana bentuk waktu dan penyerahan ji’alah?
6.        Bagaimana hukum perselisihan antara pemilik (ja’il) dan ‘amil.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Ji’alah
Ji’alah atau ja’alah atau ju’alah (sayembara) menurut arti bahasa adalah upah atau pemberian. Menurut istilah adalah perjanjian akan menyerahkan (hadiah) uang atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas.[1]
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.[2]
Akad  ji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.[3]

B.            Landasan Hukum Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan, pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.[4]
Adapun dalam mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’I Ju’alah dibolehkan secara syar’i dengan dalil kisah Nabi Yusuf dan para saudaranya berdasarkan dalil dalam Surah Yusuf ayat 72, yang berbunyi:
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".[5]
Selain itu, hadis riwayat Abu Sa’id Al-Khudriy ra. bahwa sejumlah sahabat Rasulullah mendatangi sebuah perkampungan Arab. Namun, penduduknya tidak menerima mereka sebagai tamu. Ketika itu, pemimpin mereka digigit ular (atau disengat serangga). Lalu, mereka bertanya, “Apakah di antara kalian ada ahli ruqyah?” Para sahabat menjawab, “Kalian tidak mengakui kami sebagai tamu maka kami pun tidak akan berbuat apa-apa pada kalian, kecuali kalian memberi kami imbalan. Lalu, mereka menjanjikan sejumlah kambing (kira-kira tiga puluh ekor)  kepada para sahabat sebagai upah. Seorang sahabat mulai membaca surah Al-Fatihah, kemudian ia mengumpulkan ludahnya dan diusapkan (pada bagian yang luka). Lalu, orang itu sembuh dan mereka pun memberikan sejumlah kambing itu kepada para sahabat. Namun, para sahabat berkata, “Kami tidak akan mengambil kambing-kambing tersebut sampai kami bertanya kepada Rasulullah Saw.” mereka pun menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Beliau tertawa dan bersabda, “Kalian tahu dari mana bahwa surah itu adalah ruqyah? Ambillah upah tersebut dan berilah aku bagian!”.[6]
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji’alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.[7]

C.           Rukun dan Syarat Ju’alah
1.        Rukun Ju’alah
Rukun ju’alah ada empat, yaitu:[8]
a.         Aqidain (dua orang yang berakad);
b.         Shigat;
c.         Pekerjaan;
d.        Upah.
Ju’alah sah dengan ucapan atau perbuatan yang menunjukkan izin melakukan pekerjaan dengan bayaran tertentu.
2.        Syarat-syarat ju’alah[9]
a.         Pekerjaan yang diminta dikerjakan adalah mubah. Tidak sah transaksi ju’alah pada sesuatu yang tidak mubah, seperti khamar.
b.         Upah dalam ju’alah berupa harta yang diketahui jenis dan ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi ju’alah.
c.         Upah dalam ju’alah harus suci, dapat diserahkan, dan dimiliki oleh peminta ju’alah.
d.        Pekerja menyelesaikan pekerjaan yang diminta dalam ju’alah dan menyerahkannya kepada yang menyuruhnya.



3.        Shigat Akad Ji’alah
Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga akad  ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigat dari yang akan memberi upah (ja’il) dengan shigat-shigat dalam definisi di atas dan yang sejenisnya. Shigat ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa.  Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah tersebut.[10]
Juga tidak disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana), sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad  ji’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ji’alah diperbolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang  ja’il juga dibolehkan untuk memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.[11]

D.           Hukum Ja’alah
Diantara hukum-hukum ja’alah ialah sebagai berikut:
1.        Ja’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2.        Dalam ja’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang  berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.        Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
4.        Ja’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata, “Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ja’alah (hadiah) sekian.”
5.        Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau mengerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ja’alah (hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ja’alah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.        Jika seseorang  berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ja’alah (hadiah), “maka ja’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ja’alah,” maka ja’alah tidak sah.
7.        Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ja’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ja’alah, maka  ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.[12]

E.            Bentuk Akad Ji’alah dan Waktu Penyerahan Upah
Ulama yang membolehkan akad  ji’alah bersepakat bahwa akad ini adalah akad yang tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah. Oleh karena itu, dibolehkan bagi ja’il dan ‘amil membatalkan akad ji’alah ini. Akan tetapi, para ulama tersebut berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya pembatalan itu. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ji’alah sebelum pekerjaannya dimulai. Menurut mereka, akad ini mengikat atas ja’il─bukan ‘amil─dengan dimulainya pekerjaan itu. Adapun bagi ‘amil yang akan diberikan upah, akad ini tidak mengikat atasnya dengan sesuatu apapun, baik sebelum bekerja atau sesudahnya, maupun setelah dimulai pekerjaan.[13]
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ji’alah kapan saja sesuai dengan keinginan ja’il dan ‘amil khusus (yang ditentukan). Hal ini seperti akad-akad yang bersifat tidak mengikat lainnya, seperti akad syarikah dan wakalah, sebelum selesainya pekerjaan yang diminta itu. Jika yang membatalkan akad adalah ja’il atau ‘amil khusus sebelum dimulainya pekerjaan yang diminta, atau yang membatalkannya adalah ‘amil sesudah pekerjaanya dimulai, maka ‘amil tidak berhak mendapatkan apa pun dalam dua keadaan tersebut. Hal itu karena pada keadaan pertama ia belum mengerjakan apa pun, dan pada keadaan yang kedua belum tercapai maksud ja’il dalam akad itu. Adapun ja’il membatalkannya setelah pekerjaan itu dimulai, maka dia wajib memberikan upah pada ‘amil sesuai dengan pekerjaannya menurut ulama Syafi’iyah dalam pendapat yang paling benar (al-ashahh), karena itu adalah pekerjaan yang berhak mendapatkan imbalan dan ja’il belum menyerahkan pada ‘amil upah kerjanya. Hal ini sama seperti jika pemilik harta membatalkan akad muda>rabah setelah pekerjaannya dimulai dan ‘amil berhak mendapatkan upah atau upah tertentu dengan selesainya pekerjaan itu. Namun, jika ‘amil membatalkannya sebelum pekerjaannya selesai, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun.[14]
Jika ja’il menetukan suatu tempat untuk mengembalikan barang yang hilang, dan ‘amil mengembalikannya di suatu tempat yang dekat dengan tempat yang sudah ditentukan itu, maka dia berhak mendapatkan bagiannya dari upah tersebut. Jika yang mengembalikan barang itu dua orang secara bersama-sama, maka keduanya berhak mendapatkan upah secara bersama pula, karena barang tersebut dikembalikan oleh mereka berdua secara bersama-sama.[15]
‘amil tidak boleh menahan objek ji’alah yang akan dikembalikan kepada si pemilik untuk mengambil upah, karena upah hanya bisa didapatkan dengan menyerahkan barang tersebut, dan tidak menahannya sebelum memperoleh upah.[16]
‘amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki pekerjaan itu dan dengna menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga, jika ‘amil bekerja tanpa seizin pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Dan jika ‘amil belum menyelesaikan pekerjaannya, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.[17]
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh bagi ja’il menambah atau mengurangi upah, karena ji’alah adalah akad yang tidak mengikat. Hanya saja ulama Syafi’iyah membolehkan yang demikian itu sebelum pekerjaannya selesai, baik sebelum dimulai maupun sesudahnya, seperti jika dia berkata, “Barangsiapa yang dapat mengembalikan barang milik saya, maka dia akan mendapatkan sepuluh.” Kemudian dia berkata lagi, “Dia akan mendapatkan lima,” atau sebaliknya. Faedah masalah ini terlihat setelah dimulainya suatu pekerjaan, maka ketika itu wajib memberikan upah yang berlaku secara umum, karena perubahan dengan menambah atau mengurangi itu merupakan pembatalan (fasakh) atas pengumuman yang dahulu. Pembatalan dari ja’il menyebabkan akad itu dikembalikan pada ketentuan upah umum. Adapun ulama Hanabilah membatasi perubahan ini dengan sebelum dimulainya pekerjaan, maka perubahan ini boleh dan berlaku.[18]

F.            Hukum Perselisihan Pemilik dan ‘Amil
Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan amil, dalam masalah asal persyaratan upah, misalkan salah satunya mengingkari persyaratan tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti jika amil berkata, “kamu mensyratkan memberi upah pada saya,” tapi sipemilik mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena asalnya tidak ada persyaratan upah.[19]
Dan jika mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekrjaan (‘amil) tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya.[20]
Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan sipemilik berkata, “kamu bukan yang mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali sendiri.” Maka sipemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.[21]
Dan jika mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapat bahawa keduanya disumpah dan akad ji’alahnya dibatalkan, lalu sipemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku.[22]
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang  dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena sipemilik mengingkari yang diakui oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diakui oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga.[23]














BAB III
                                                    ANALISIS               
Mengenai perbedaan pendapat para ulama tentang dasar hukum ju’alah terkait dalam penjelasan yg dipaparkan pada landasan hukum ju’alah menurut penulis pendapat yang lebih kuat ialah pendapat pihak  yang membolehkan akad tersebut. Dalil-dalil dari al Qur’an dan as Sunnah tersebut cukup jelas. Memang sekilas terdapat unsur ghoror sebagaimana yang disebutkan dalam pendapat Hanafiah. Misalnya dalam Ju’alah tersebut ternyata ada beberapa orang yang masing-masing bekerja untuk mendapatkan janji imbalan. Namun ternyata pada akhirnya yang mendapatkan imbalan adalah mereka yang berhasil bekerja sesuai yang diminta pemberi janji imbalan sedangkan yang lain tidak berhak mendapat apa-apa padahal mereka juga berletih-letih mencarinya( seperti pada kasus perlombaan berhadiah). Ghoror seperti ini bisa ditepis dengan mempertimbangkan dua hal, yakni: a) amalan ju’alah sifatnya tidak memaksa pihak manapun. Artinya segala resiko yang bakalan di hadapi oleh pelaku ju’alah seperti rasa letih, kehilangan biaya akomodasi untuk keperluan tertentu serta hal lainnya telah menjadi hal yang ma’lum dikalangan pelakunya. b) hal tersebut didasari saling ridha antara dua belah pihak walaupun tidak ada pernyataan lansung dari pihak yang melakukan pekerjaan.
Kemudian setelah mempelajari lebih dalam mengenai ju’alah penulis berasumsi dalam kehidupan sekarang jika kita melihat dan meneliti lebih dalam ju’alah memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Sebagai sarana pemicu sekaligus pemacu prestasi pada karyawan perusahaan penelitian dan penemuan. Individu atau perusahaan yang bergerak di bidang penelitian boleh jadi termotivasi untuk bekerja menemukan ciptaan atau penemuan tertentu dengan tujuan mendapatkan bayaran atau hadiah ketika berhasil menemukan sesuatu . Hal ini hendaknya perlu di perhatikan para pengelola perusahaan penelitian dan penemuan seperti perusahaan elektronik semacam handphone, komputer dan semisalnya. Sebab seringkali kelesuan karyawan disebabkan karena gaji yang tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan. Dan perusaan seperti elektronik dituntut inovatif dan bersaing dengan ketat. Dengan adanya reward atau hadiah bagi karyawan yang bisa menemukan penemuan baru akan menghilangkan virus “mati gaya” pada karyawannya.
2)      Mendorong semangat pelajar dan mahasiswa untuk mengembangkan karya tulis ilmiah dan riset. Begitu juga memacu kinerja karyawan dalam perusahaan untuk bekerja lebih serius dan giat.
3)      Sebagai sarana tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Hal tersebut karena dengan Ju’alah banyak sekali membantu proyek penting dalam suatu lembaga yang bermanfaat bagi umat. Seperti ju’alah dalam penyusunan buku-buku ilmiah, atau berbagai penelitian yang bermanfaat bagi umat.
4)      Adanya penghargaan terhadap hasil karya orang lain. Sudah sepantasnya bagi direktur perusahaan, kepala instansi atau siapa saja pemegang dan pengelola suatu lembaga untuk menghargai jerih payah orang lain. Merupakan bagian dari prinsip kebajikan (mashlahah) dalam etika produksi dimana kita harus melakukan sebanyak mungkin kebajikan dalam kehidupan kita . Salah satu dari kebajikan tersebut yaitu menghargai hasil karya orang lain.
BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ju’alah seperti yang dikembangkan dalam literatur  fiqih adalah suatu akad dimana seorang yang yang menjanjikan sesuatu bagi siapa yang dapat memenuhi keinginannya.  Ju’alah tidak berdasarkan teks syari‟ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam.
Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an Surah Yusuf ayat 72.
Ju’alah dibolehkan dan tetap sah pada waktu yang belum jelas, dalam ju’alah diperbolehkan tidak adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana) karena dia merupakan upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi, dalam ju’alah imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal.

B.      Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang ji’alah (Sayembara), apabila seseorang melakukan pekerjaan terutama dalam hal tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa hendaknya dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap upah atau imbalan. Tetapi, karena ji’alah adalah perjanjian menyerahkan (hadiah) uang atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas maka bagi ja’il hendaknya bersikap adil dan memberikan upah sesuai dengan apa yang dikerjakannya dan tidak menunda pemberian upah.



DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, Jakarta, PT. Darul Falah, 2000.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Special For Woman dan Terjemah, Bandung, Syaamil Al-Qur’an, 2009.
Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta, Kencana. 2012.
Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur, Buku Pintar Transaksi Syariah, Jakarta, PT Mizan Publika, 2010.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani. 2011.
Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya, Terbit Terang. 2005.




[1] Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang. 2005), h. 381.
[2] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana. 2012), h. 314.
[3] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani. 2011), h. 432.
[4]  Ibid., h. 433.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Special For Woman dan Terjemah, (Bandung: Syaamil Al-Qur’an, 2009) h. 244.
[6]  Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur, Buku Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta, PT Mizan Publika, 2010), h. 202.
[7]  Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op.cit., h. 434.
[8]  Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, op.cit., h. 315.
[9] Ibid.
[10] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op.cit., h. 343.
[11] Ibid.
[12] Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, (Jakarta: PT. Darul Falah. 2000), h. 526-527.
[13] Ibid., h. 437.
[14] Ibid., h. 438.
[15]  Ibid.
[16]  Ibid.
[17]  Ibid.
[18]  Ibid., h. 438-439.
[19]  Ibid., h. 439.
[20]  Ibid.
[21]  Ibid.
[22]  Ibid.
[23]  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar