Awalnya, semua
berjalan sederhana. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal
manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta melalui chatingan di
facebook dan pesan singkat – sms. Perhatian yang mengalir darimu dan
pembicaraan manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai
dengan luar biasa.
Kehadiranmu membawa
perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan
hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh.
Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui chat facebook dan
sms. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada
akhirnya kita berbicara hal paling menyentuh, CINTA.
Aku bergejolak dan
menaruh harap. Apakah kau sudah menganggap aku sebagai wanita spesial meskipun
kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam,
segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai
menyeretku kea rah yang mungkin saja tak kuinginkan.
Saat bertemu, kita
tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti.
Ketika berbicara d isms, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat
itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan
secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan
cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru
dalam hadirmu. Aku berusaha mempercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu
mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman,
aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Aku tak pernah
ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit
sendirian. Tapi, nyatanya....
Perasaanku tumbuh
semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa menebak
perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak
sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan
dalam hadirmu. Aku hanya wanita yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah
aku miliki.
Salahku memang jika
mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika
berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa
dan senyumku, aku percaya kau tak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan
jadi sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku
sinar paling terang. Aku sangat mempercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan
yang harus kusesali.
Ternyata, ketakutanku
terjawab sudah, kamu menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa
ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak kau sampaikan
padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu,
mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kau ingin tahu, aku sudah
merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin, suatu
saat nanti, jika Allah izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling
membahagiakan.
Aku tak punya hak
dan wewenang untuk memintamu kembali. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika
bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu,
aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba
hilang menguap, bagai asap rokok yang hilang ditelan gelapnya malam.
Sesungguhnya, ini
juga salahku, yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang lebih
dalam dan kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak mungkin
matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk tahu bahwa aku mencintaimu.
Aku harus belajar
tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.
Januari...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar