Rabu, 13 November 2013

Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah



1 . 1.  Peradilan Agama di Indonesia
1 .1.1 Kelembagaan Peradilan di Indonesia
Peradilan agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah di antara orang-orang islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama pada tingkat banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Peradilan agama merupakan peradilan islam di Indonesia, sebagai salah satu mata rantai peradilan yang tumbuh dan berkembang sejak masa Rasulullah Saw. Ia merupakan wujud peradilan islam dalam struktur dan kultur masyarakat-bangsa Indonesia. Identifikasi peradilan agama sebagai Peradilan Islam dilihat dari sudut pandang filosofis, yuridis, historis, dan sosiologis.
Unsur-unsur peradilan agama meliputi:
(1)     kekuasaan Negara yang merdeka
(2)     penyelenggara kekuasaan Negara
(3)     perkara yang menjadi wewenang pengadilan
(4)     orang-orang yang berperkara, yaitu pihak-pihak
(5)     hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara
(6)     prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
 (7)    penegakan hukum dan keadilan, sebagai tujuan.
1 .1.2 Susunan Badan Peradilan Agama di Indonesia
Jenjang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan pengadilan tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Daerah hukum Pengadilan Agama adalah daerah kota atau kabupaten. Sedangkan daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama adalah daerah propinsi. Namun demikian, dengan kenyataannya ditemukan lebih dari satu Pengadilan Agama dalam suatu daerah kabupaten.
Susunan Pengadilan Agama terdiri atas:
1)      Pimpinan
2)      Hakim Anggota
3)      Panitera
4)      Sekretaris dan
5)      Jurusita.
1 .1.3 Kekuasaan Pengadilan di Indonesia
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang perkara perdata tertentu di kalangan orang-orang yang beragama islam berdasarkan hukum islam. Sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 perkara yang diterima dan diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama semakin meningkat. Hal itu menimbulkan konsekuensi penambahan unit pengadilan, jumlah aparatur, pengorganisasian pengadilan, dan peningkatan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Terdapat korelasi positif antara jumlah orang islam di suatu wilayah propinsi dengan jumlah perkara yang diterima oleh pengadilan dalam wilayah yang sama. Sedangkan rasio antara jumlah perkara dengan jumlah penganut agama islam pada masing-masing wilayah beranekaragam.
1 .1.4 Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Ulama dan pejabat agama, dua tipe pemimpin Islam, memainkan peranan yang sangat penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Mereka mengaktualisasikan kepemimpinannya melalui pranata pendidikan dan pranata politik. Ketika islam menjadi kekuatan politik, yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan kesultanan islam yang memerintah, terjadi suatu hubungan simbiotik ulama-ulama. Dan pejabat agama yang menjadi subordisasi dari pusat kekuasaan islam, merupakan peletak dasar pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama .
Pada masa kesultanan Islam, peradilan agama tumbuh dan berkembang dengan corak yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi posisinya dalam pusat kekuasaan, struktur dan cakupan kekuasaannya, dan sumber pengambilan hukum dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya.
Perkembangan peradilan Agama selalu mengalalami pasang surut sejak dari masa penjajahan Belanda, masa penduduk tentara Jepang, hingga masa kemerdekaan. Diundangkan dan diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989, merupakan peristiwa paling penting dalam perkembangan peradilan agama. Hal itu ditandai dengan beberapa perubahan. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan peradilan agama, ialah dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam.
2.2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau yang lebih dikenal dengan singkatan KHES bidang hukum ekonomi syariah (fikih muamalah). Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, juga turut memperkaya dan sekaligus memperkuat eksistensi dan posisi keberlakuan/pemberlakuan hukum syariah di Negara Hukum Indonesia (NHI); sementara pada saat yang bersamaan, KHES juga sejatinya memberikan energi tersendiri bagi askelerasi atau  percepatan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Disengaja atau kebetulan, kehadiran KHES  bersaman waktunya dengan pengundangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang menurut Dr. M. Hasbi Hasan Undang-Undang ini turut  memberikan kompetensi kepada Peradilan Agama dalam menangani perkara (sengketa) ekonomi syariah.
KHES di Negara Indonesia yang nyata-nyata beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seluruh dunia, tentu akan memberikan martabat (prestasi dan prestise) tersendiri bagi negeri ini dalam kancah hukum ekonomi dan keuangan syariah seiring dengan pembukuan dan pembakuan hukum ekonomi dan keuangan syariah  yang juga tumbuh dan berkembang di berbagai belahan negara lain di hampir segenap penjuru dunia.













Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
SUBJEK HUKUM DAN AMWAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Kompilasi ini yang dimaksud dengan :
1. Ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukanoleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yangberbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangkamemenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidakkomersial menurut prinsip syariah.
2. Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, ataubadan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadanhukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukunghak dan kewajiban.
3. Kecakapan hukum adalah kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum.
4. Anak adalah seseorang yang berada di bawah umur 18 tahun yang dipandang belum cakap melakukan perbuatan hukum atau belum pernah menikah.
5. Pewalian adalah kewenangan yang diberikan kepada wali untuk melakukan perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan muwalla.
6. Muwalla adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha yang dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Wali adalah seseorang atau kurator badan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk kepentingan terbaik bagi muwalla.
8. Pengadilan adalah pengadilan/mahkamah syar'iyah dalam lingkungan peradilan agama.
9. Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis.
10. Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diindra.
11. Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat diindera.
12. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain.
13. Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang.
14. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
15. Benda tidak terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak.
16. Kepemilikan benda adalah hak yang dimiliki seseorang, kelompok orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
17. Penguasaan benda adalah hak seseorang, kelompok orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, baik miliknya maupun milik pihak lain.
18. Pengusahaan benda adalah hak seseorang atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum untuk mendayagunakan benda, baik miliknya maupun milik pihak lain.
19. Pengalihan hak kebendaan adalah pemindahan hak kepemilikan dari subjek hukum yang satu ke subjek hukum yang lain.
20. Uang adalah alat tukar atau pembayaran yang sah, bukan sebagai komoditas.
21. Orang adalah seseorang, orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum.
BAB II
SUBYEK HUKUM
Bagian Pertama
Kecakapan Hukum
Pasal 2
 (1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.
(2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 3
(1) Dalam hal seseorang anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun dapat mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum kepada pengadilan.
(2) Pengadilan dapat mengabulkan dan atau menolak permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum.
Bagian Kedua
Pewalian
Pasal 4
Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum berhak mendapat pewalian.
Pasal 5
(1) Dalam hal seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah menikah, namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka pihak keluarga dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi yang bersangkutan. 
(2) Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang berkepentingan. 
2.2.1. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pada Lembaga Perbankan Syariah
Perbankan yang sejatinya adalah lembaga keungan yang berfungsi menghimpun, menyalurkan, dan memberikan jasa kepada nasabah-nasabahnya yang dalam konteks syariah harus secara hukum syariah yaitu tanpa adanya praktek riba.
Secara khusus perbankan syariah memiliki tujuan antara lain:
a)      Mengarahkan kegiatan ekonomi umat Islam bermuamalah secara Islam
b)      Menciptakan keadilan di bidang ekonomi
c)      Meningkatkan kualitas hidup umat
d)     Membantu menanggulangi atau mengentaskan kemiskinan
e)      Turut menjaga kestabilan ekonomi
f)       Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Baank Konvensional.
Kompetensi Pengadilan Agama
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara perdata, sehingga kata tersebut dianggap semakna.[1]
Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 jo UU no 48 tahun 2009. Kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang berada dibawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:
a.   Peradilan Umum
b.   Peradilan Agama
c.   Peradilan Militer, dan
d.   Peradilan Tata Usaha Negara.
 Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung ini, merupakan penyelenggara kekauasaan negara dibidang yuridikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice), dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court). Dengan demikian, Pasal 24 (2) UUD dan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU no.4 Tahun 2004 jo UU no 48 tahun 2009 merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system) di Indonesia, yang dibagi dan terpisah berdasarkan yuridiksi atau separation court system based on juridiction.[2]
Mengenai sistem pemisahan yuridiksi dianggap masih relevan, dasar-dasar yang dikemukakan dalam penjelasan yuridiksi pasal 10 ayat (1) UU no 14 tahun 1970.
a.   Didasarkan pada lingkungan kewenangan.
b.   Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili.
c.   Kewenangan tertentu tersebut menciptan terjadinya kewenangan absolut atau yuridiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subjek matter or yuridiksen. Oleh karena itu masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan kepadanya. Adapun kewenangan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut.
“PA berdasarkan pasal 49 UU no 7 tahun 1989 jo UU no 3 tahun 2006 jo UU no 50 tahun 2009 tentang peradilan agama. Hanya berwenang mengadili bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

A.    Kompetensi (Kekuasaan atau Wewenang) Relatif Peradilan Agama
Kata kekuasaan sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda Competentie, yang sering diterjemahkan dengan kewenangan da kekuasaan. Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut.
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya denga kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan prundang-undangan.
Daerah hukum Peradilan Agama sebagaimana Pengadilan Negeri meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama meliputi wilayah provinsi. Dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan, “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten”. Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi “pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapii tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi sulit.
Untuk mengetahui yuridiksi agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonan yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hak eksepsi  tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum (tentang tenpat mengajukan gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Dan juga boleh penggugat dan tergugat memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.[3] Pengadilan Negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya. Namun dalam praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan.
Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk Peradilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di masa lalu sebelum Peradilan Agama mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh Indonesia (sebelum Undang-undang no.7 tahun 1989) Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum diatas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Sumatera belum tentu menjadi kekuasaan absolut Peradilan Agama di pulau Jawa, seperti mengenai warisan.

B.     Kompetensi (Kekuasaan atau Wewenang) Absolut Peradilan Agama
Kekuasaan mutlak Pengadilan berkenaan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, sebagai contoh:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut.
a.    Perkawinan
b.    Waris
c.    Wasiat
d.    Hibah
e.    Wakaf
f.     Zakat
g.    Infaq
h.    Shadaqah dan
i.     Ekonomi syari’ah.

a.       Bidang Perkawinan
Salah satu yang tercangkup di dalam kekuasaan mutlak pengadilan dalam lingkunag Peradilan Agama adalah bidang perkawinan. Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang no 1 tahun 1974  tentang perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1.   Izin beristri lebih dari seorang.
2.   Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3.   Dispensasi kawin.
4.   Pencegahan perkawinan.
5.   Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6.   Pembatalan perkawinan.
7.   Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri.
8.   Perceraian karena talak.
9.   Gugatan perceraian.
10. Penyelesian harta bersama.
11. Penguasaan anak-anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul seorang anak.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan wali adlal.
24. Penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

b.      Bidang Kewarisan, Wasiat dan Hibah.
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang kewarisan mencangkup empat hal, yaitu: 1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, 2. Penentuan mengenai harta peninggalan (tirkah), 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris dari harta peninggalan itu, dan 4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Sebagaimana Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Huruf (b)
“Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.”
Huruf (c)
“Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.”
Huruf (d)
“Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
c.       Bidang Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah
Wakaf yaitu perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagiab harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Zakat yaitu harta yang wajib disisihkan  oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimilki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Infaq yaitu perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna memenuhi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuaitu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
Shadaqah yaitu perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata
Ekonomi Syari'ah  yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, meliputi:
a. Bank Syari'ah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah
c. Asuransi
d. Reasuransi
e. Reksa Dana Obligasi Syari'ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah
f. Sekuritas Syari'ah
g. Pembiayaan Syari'ah
h. Pegadaian Syari'ah
i. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari'ah dan 
j. Bisnis Syari'ah
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1)  Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
2)  Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
3.1. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Perbankan Syariah
Kewenangan lingkungan peradilan agama di bidang bank syariah, baru sebatas bahwa bank syariah itu adalah merupakan salah satu bidang ekonomi syariah yang termasuk dalam kewenangan absolut lingkungan peradilan agama.
3. 1. 1. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Bank Syariah Meliputi semua Perkara Perbankan Syariah di Bidang Perdata
Kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang bank syariah adalah meliputi semua perkara perbankan syariah di bidang perdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam...”, dan “ Penyelesaian sengketa  tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.”
Selanjutnya untuk mengetahui sampai di mana jangkauan kewenangan lingkunganperadilan agama dalam mengadili sengketa di bidang perdata tersebut, dapat di analisis dengan pendekatan asas personalitas keislaman yang merupakan salah satu asas sentral yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan pedoman umum dalam menentukan kewenangan peradilan agama. Asas personalitas keislaman juga merupakan asas pemberlakuan hukum Islam terhadap orang (person) yang beragama Islam. Asas ini menggariskan bahwa “terhadap orang Islam berlaku hukum Islam, dan jika terjadi sengketa diselesaikan menurut hukum Islam oleh hakim (pengadilan) Islam. Sehingga dapat ditegaskan bahwa setiap orang Islam baik secara Subjektif maupun secara objektif berlaku hukum Islam. Maka dapat disimpulkan bahwa terhadap semua perkara atau sengketa perbankan syariah di bidang perdata merupakan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama untuk mengadilnya, secara tegas ditentukan lain oleh undang-undang.
3. 1. 2. Meliputi Sengketa Antara Bank Syariah dengan Pihak Non-Islam
Jangkauan kewenangan lingkungan peradilan agama dalam bidang perbankan syariah tidak hanya terbatas pada sengketa yang trjadi antara bank syariah dengan pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama Islam saja, melainkan juga meliputi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan pihak-pihak (person/badan hukum) yang beragama Non-Islam, sepanjang sengketa tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah yang dilaksanakansesuai dengan prinsip syariah.
3. 1. 3. Tidak Menjangkau Klausula Arbitrase
Arbitrasi merupakan suatu badan swasta , di luar Badan Peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan perkara atau sengketa yang terjadi antara anggota masyarakat atas dasar perjanjian atau kesepakatan yang telah mereka buat sebelumnya dalam usaha suatu perjanjian arbitrase (klausula arbitrase).
Berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan Negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Dengan demikian, terhadap perkara atau sengketa perbankan syariah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, lingkungan peradilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya karena kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau perkara atau sengketa perbankan syariah yang timbul dari perjanjian yang terdapat klausula arbitrase. Atas dasar itu terhadap sengketa atau perkara perbankan syariah yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, namun tetap diajukan ke pengadilan agama untuk diselesaikan, maka sikap yang tepat bagi hakim pengadilan agama dalam hal ini adalah dengan menjatuhkan putusan negatif berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama secara absolut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
3.1.4 Meliputi Putusan Arbitrase Syariah di Bidang Perbankan Syariah
            Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa apabila perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan agama ternyata merupakan sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase, maka pengadilan agama secara absolute tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kewenangan untuk menyelesaikan perkara semacam itu sepenuhnya termasuk yurisdiksi absolute badan arbitrase yang telah ditentukan atau dipilih oleh para pihak sebelumnya dalam perjanjian (akad).
Tidak demikian halnya dengan putusan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS) di bidang perbankan syariah. Terhadap putusan arbitrase syariah tersebut jika para pihak ternyata tidak melaksanakannya secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Dengan demikian putusan arbitrase syariah tersebut akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999, dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah.
Mengenai kewenangan lingkungan peradilan agama dalam melaksanakan putusan arbitrase syariah tersebut hingga kini memang masih ada pihak yang mempertanyakan. Bahkan dikalangan petinggi Mahkamah Agung sendiri sebelum lahirnya SEMA No. 08 Tahun 2008 tersebut sempat terjadi silang pendapat tentang pengadilan mana sesungguhnya yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase syariah tersebut, jika para pihak ternyata tidak mau melaksanakannya secara sukarela. Di satu pihak ada yang berpendapat hal itu menjadi kewenangan pengadilan agama karena sesuai dengan ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 pengadilan agama berwenang menangani sengketa ekonomi syariah. Sementara di lain pihak ada yang menyatakan hal itu tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, karena pengadilan agama tidak berwenang menyelesaikan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999.
Demikian empat hal yang harus benar-benar dipahami berkaitan dengan batas ruang lingkup dan jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang perbankan syariah.









DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman A, 2008, Bank Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Perwataatmadja, Karnaen, 1992, Apa Dan Bagaimana Bank Syari’ah, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Susanto, Burhanuddin, 2008, Hukum Perbankan Syari’ah Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Basir, Cik, 2009, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah-Di Pengadilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Jakarta: Kencana.






[1] Dr. H. Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.25
[2] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hal 181
[3] HIR pasal 118 ayat 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar