Selasa, 12 November 2013

Pegadaian

TUGAS BERSTRUKTUR                                                          DOSEN PENGASUH Lembaga Keuangan Non Bank                                                    Farid Aulia Rahman

“Pegadaian”



Oleh
Kelompok 1
                            Adnan                               1101160259
Norlaila Hayati                1101160228
Nurhidayah                      1101160232
                       
   



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2013


KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم

            Segala Puji Bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat beliau, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
            Alhamdulillah, atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat disusun dan diselesaikan berdasarkan waktu yang telah diberikan. Makalah ini berjudul “Pegadaian”.
            Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak selaku dosen pengasuh mata kuliah Lembaga Keuangan Non Bank yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
            Penulis  menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca bisa memberikan kritik dan saran-saran yang membangun dan memotivasi penulis untuk lebih baik lagi dalam membuat makalah.
            Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang menulis. Amin yarabbal a’lamiin.

                                                                        Banjarmasin, 05 oktober 2013

                                                                                           Penulis

  

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan produk-produk yang berbasis syariah dibidang lembaga keuangan semakin marak sekarang ini, tidak terkecuali dengan pegadaian. Pegadaian pun mengeluarkan produk yang berbasis syariah, yang mana sering disebut sebagai pegadaian syariah. Pegadaiaan syariah memiliki karakteristik yang berbeda dengan pegadaian umum (konvensional), karakteristik tersebut sebagaimana yang tertera dalam prinsip syariah mengenai lembaga keuangan, yaitu tidak adanya praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip syariah seperti riba, gharar, dan maisir.
Guna menghindari praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip islam, maka dalam operasional kegiatan pegadaian syariah menggunakan dua akad, yaitu akad rahn dan akad ijarah. Dengan menggunakan dua akad tersebut kegiatan usaha yang dijalankan oleh pegadaian syariah dinilai dapat menghindari praktik-praktik yang diharamkan.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
                        1.      apa pengertian pegadaian dan pegadaian syariah?
                        2.      Apa landasan hukum pegadaian syariah?
                        3.      Bagaimana sejarah dan perkembangan pegadaian secara umum dan khusus (syariah)?
                        4.      Apa saja jenis-jenis akad di dalam pegadaian syariah?
                        5.      Bagaimana mekanisme kerja pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?
C.     Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Lembaga Keuangan Non Bank” yang diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan tentang “Pegadaian” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Pegadaian
            Pegadaian adalah salah satu lembaga keuangan bukan bank di Indonesia yang mempunyai aktifitas pembiayaan kebutuhan masyarakat, baik bersifat produktif maupun konsumtif, dengan menggunakan hukum gadai. Pada dasarnya transaksi pembiayaan yang dilakukan oleh pegadaian sama dengan prinsip pinjaman melalui lembaga perbankan, namun yang membedakannya adalah dasar hukum yang digunakan yaitu hukum gadai.[1]
Pegadaian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh oranng lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada oran yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelag barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”[2]
Dalam perspektif islam, pegadaian (gadai) dalam bahasa Arab disebut rahn. Secara bahasa, rahn berarti ‘tetap dan lestari’, sedangkan menurut istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.[3]Menurut ulama fikih gadai (rahn) adalah menjadikan barang sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa mengembalikan utangnya. [4]
Menurut ulama Syafi’iyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
Jadi, gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.[5]
2.      Landasan Hukum Pegadaian Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad saw., ijma’ ulama, dan fatwa MUI.[6]
a)      Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun konsep gadai adalah sebagai berikut:
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
b)      Hadits Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi Muhammad saw.:[7] “Dari Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw membeli makanan dari orang Yahudi dengan cara ditangguhkan pembayarannya, kemudian Nabi menggadaikan baju besinya”.
c)      Ijma’ Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw kepada mereka.[8]
d)     Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Sayariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:[9]
1)      Fatwa DSN-MUI No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
2)      Fatwa DSN-MUI No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
3)      Fatwa DSN-MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah;
4)      Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000, tentang Wakalah;
5)      Fatwa DSN-MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Rugi.

Adapun rukun dan syarat gadai (rahn) adalah sebagai berikut:[10]
a.       Rukun Gadai (Rahn)
1)      Orang yang menggadaikan (rahin).
2)      Yang meminta gadai (murtahin).
3)      Barang yang digadaikan (marhun/rahn).
4)      Utang (marhun bih).
5)      Ucapan shighah ijab dan qabul.
b.      Syarat Gadai (Rahn)[11]
1)      Rahin dan murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahn dan murtahin, harus mempunyai kemampuan yaitu berakal sehat.
2)      Shighah (akad)
Shighah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu di masa mendatang.
3)      Marhun bih (utang)
Harus merupakan hak yang wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan pemanfaatannya.
4)      Marhun (barang)
Menurut ulama Syafi’iyah gadai bisa sah dengan terpenuhinya 3 syarat:
a)      Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
b)      Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c)      Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai.
c.       Syarat-Syarat Barang Rahn
1)      Harus bisa diperjualbelikan.
2)      Harus berupa harta yang bernilai.
3)      Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram.
4)      Harus diketahui keadaan fisiknya.
5)      Harus dimilika oleh rahn, setidaknya harus atas seizin pemiliknya.
3.      Sejarah dan Perkembangan Pegadaian Secara Umum dan Khusus
Usaha Pegadaian di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda (VOC) di mana pada saat itu tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk meminjamkan uang dengan jaminan gadai. Pada mulanya usaha ini dijalankan oleh pihak swasta, namun dalam perkembangan selanjutnya usaha pegadaian ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian dijadikan perusahaan negara, menurut undang-undang pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan status Dinas Pegadaian.
Dalam sejarah dunia usaha pegadaian pertama kali dilakukan di Itali. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya meluas ke wilayah-wilayah Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis, dan Belanda. Oleh orang-orang Belanda lewat pihak VOC usaha pegadaian dibawa masuk ke Hindia Belanda.
Di zaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih usaha Dinas Pegadaian dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian berdasarkan Undang-Undang No.19 Prp. 1960. Perkembangan selanjutnya pada tanggal 11 Maret 1969 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1969 PN Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian pada tanggal 10 April 1990 berdasarkan peraturan Pemerintah N0.10 Tahun 1990 Perjan Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Sampai saat ini lembaga yang melakukan usaha berdasarkan atas hukum gadai hanyalah Perum Pegadaian.[12]
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 diubah menjadi Peraturan Pemerintah N0. 103 Tahun 2000 tentang pegadaian. Aturan ini menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian dalam menjalankan usaha dalam status sebagai Perusahaan Umum dengan mengemban misi, yaitu:[13]
1)      Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Adapun pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kemauan warga masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam.[14]
Besarnya permintaan warga masyarakat terhadap Perum Pegadaian membuat lembaga-lembaga keuangan syariah juga melirik kepada sektor pegadaian, sektor yang dapat dikatakan agak tertinggal dari sekian banyak lembaga keuangan syariah lainnya. Melihat semakin berkembang permintaan warga masyarakat dan pola bisnis berbasis syariah di Indonesia, Perum Pegadaian tertarik untuk menerapkannya.[15]
Fungsi operasi pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang Pegadaian Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 kantor cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.[16]
Beberapa bank umum syariah yang ada di Indonesia pun telah terjun di pasar pegadaian dengan menjalankan prinsip syariah. Ada bank syariah yang bekerja sama dengan Perum Pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai Syariah di beberapa kota di Indonesia dan beberapa bank umum syariah lainnya menjalankan kegiatan pegadaian syariah sendiri.[17]

4.      Jenis-jenis Akad dalam Pegadaian Syariah
Ada beberapa jenis akad dalam pegadaian syariah, yaitu:
a)      Akad Qard Al-Hasan
Akad qard al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan pihak penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif.[18]
b)      Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi gadai (rahin) dengan pihak penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai atau orang yang menggadaikan harta benda sebagai jaminan untuk menambah modal usahanya atau pembiayaan produktif.[19]
c)      Akad Ba’i Muqayyadah
Akad ba’i muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah harta benda barang gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda dimaksud, mempunyai manfaat yang prosuktif.[20]


d)     Akad Ijarah
Adalah akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat barang.[21]
e)      Akad Musyarakah Amwal Al-‘Inan
Akad musyarakah amwal al-‘inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk berbagai hasil, berbagai kontribusi, berbagai kepemilikan, dan berbagai resiko dalam sebuah usaha.[22]
5.      Mekanisme Kerja pada Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah
Dalam pegadaian konvensional, obyek yang digadaikan biasanya terdiri dari emas dan perhiasan lainnya. Meskipun perhiasan berlian kurang diminati oleh pegadaian, karena beberapa faktor dalam prakteknya yaitu adanya penipuan. Jadi yang lebih diminati adalah emas, karena lebih mudah ditandai keasliannya. Selain perhiasan, diterima pula kendaraan seperti mobil, motor, dan lain-lain meskipun tetap yang lebih disukai adalah emas.[23]
Seperti diketahui bahwa menariknya peminjaman uang dipegadaian disebabkan prosedurnya yang mudah, cepat dan biaya yang dikenakan relatif ringan. Di samping itu, biasanya Perum Pegadaian tidak begitu mementingkan untuk apa uang tersebut digunakan. Yang penting setiap proses peminjaman uang di pegadaian haruslah dengan jaminan barang-barang tertentu. Secara garis besar proses atau prosedur peminjaman uang di Perum Pegadaian dapat dijelaskan berikut ini.[24]
a.       Nasabah datang langsung ke bagian informasi untuk memperoleh penjelasan, tentang pegadaian, misalnya tentang barang jaminan, jangka waktu pengembalian, jumlah pinjaman, dan biaya sewa modal (bunga pinjaman).
b.      Bagi nasabah yang sudah jelas dan mengetahui prosedurnya dapat langsung membawa barang jaminan ke bagian penaksir untuk ditaksir nilai jaminan yang diberikan. Pemberian barang jaminan disertai bukti diri seperti KTP atau surat kuasa bagi pemilik barang yang tidak dapat datang.
c.       Bagian penaksir akan menaksir nilai jaminan yang diberikan, baik kualitas barang maupun nilai barang tersebut, kemudian barulah ditetapkan nilai taksir barang tersebut.
d.      Setelah nilai taksir ditetapkan langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah pinjaman beserta sewa modal (bunga) yang dikenakan dan kemudian diinformasikan ke calon peminjam.
e.       Jika calon peminjam setuju, maka barang jaminan ditahan untuk disimpan dan nasabah memperoleh pinjaman, berikut surat bukti gadai.
Kemudian untuk proses pembayaran kembali pinjaman baik yang sudah jatuh tempo maupun yang belum dapat dilakukan sebagai berikut:[25]
a.       Pembayaran kembali pinjaman berikut sewa modal dapat langsung dilakukan di kasir dengan menunjukkan surat bukti gadai dan melakukan pembayaran sejumlah uang.
b.      Pihak pegadaian menyerahkan barang jaminan apabila pembayarannya sudah lunas dan diserahkan langsung ke nasabah untuk diperiksa kebenarannya dan jika sudah benar dapat langsung dibawa pulang.
c.       Pada prinsipnya pembayaran kembali pinjaman dan sewa modal dapat dilakukan sebelum jangka waktu pinjaman jatuh tempo. Jadi si nasabah jika sudah punya uang dapat langsung menebus jaminannya.
d.      Bagi nasabah yang tidak dapat membayar pinjamannya, maka barang jaminannya akan dilelang secara resmi ke masyarakat luas.
e.       Hasil penjualan lelang diberitahukan kepada nasabah dan seandainya uang hasil lelang setelah dikurangi pinjaman dan biaya-biaya masih lebih akan dikembalikan ke nasabah.
Sedangkan pada pegadaian syariah, proses pinjam-meminjamnya masih sama dengan konvensional. Secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.[26]
Mekanisme penyaluran pinjaman pada pelaksanaan sistem gadai syariah mempunyai prinsip bahwa nasabah hanya dibebani biaya administrasi dan jasa simpan harta benda sebagai barang jaminan. Rahin menyimpan barang sebagai jaminan mempunyai jasa atau biaya dan biaya administrasi dibebankan kepada nasabah gadai syariah. Oleh karena itu, nasabah yang meminjam uang ke Kantor Cabang Pegadaian Syariah hanya wajib membayar sewa simpan barang. Masa gadai dapat diperpanjang, perpanjangan itu tidak mempunyai tambahan biaya untuk perpanjangan waktu.[27]
            Pada dasarnya orang yang menggadaikan (rahin) hartanya di kantor pegadaian untuk mendapatkan pinjaman uang dapat melunasi pinjamannya kapan saja, tanpa harus menunggu jatuh tempo. Namun, pemberi gadai (rahin) dapat memilih cara pelunasan sekaligus atau mencicil utangnya. Oleh karena itu, bila masa 4 (empat) bulan telah sampai, tetapi rahin belum melunasi pinjamannya maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pinjaman selama 4 bulan, tetapi jika dalam jangka waktu yang ditetapkan rahin tidak mengambil harta benda yang menjadi jaminan (marhun) maka pegadaian syariah akan melakukan pelelangan atau penjualan barang gadai.[28]
            Pihak pegadaian melakukan pelelangan harta benda yang menjadi jaminan pinjaman bila rahin tidak dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang telah ditentukan dalam akad. Pelelangan dilakukan oleh pihak pegadaian sesudah memberitahukan kepada rahin paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan. Pemberitahuan tersebut dapat melalui surat pemberitahuan masing-masing alamat atau melalui telepon dan lainnya.[29]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dapat ditarik kesimpulan, bahwa pegadaian konvensional dan pegadaian syariah secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah. bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa uang. Sedangkan pegadaian syariah mendapatkan keuntungan dari penitipan barang gadaian tersebut. Tempat penitipan inilah yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa penitipan barang.





















Daftar Pustaka

Buku:
Andri Soemitro, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalila Indonesia, 2012.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Internet:




[2] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 387.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.
[4] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 198.
[5] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,op.cit, h. 2-3.
[6] Ibid, h. 5.
[7] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, op.cit, h. 199.
[8] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,op.cit, h. 8.
[9] Ibid, h. 8.
[10] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer, loc.cit.
[11] Ibid, h. 200.
[12] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 263.
[13] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,op.cit, h. 11.
[14]  Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,op.cit, h. 15.
[15]  Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah,loc.cit.
[16]  Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, op.cit, h. 393.
[17]  Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, loc.cit.
[18]  Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, op.cit, h.83.
[19]  Ibid, h. 87.
[20]  Ibid, h. 92.
[21]  Ibid, h.97.
[22]  Ibid, h. 101.
[24] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, op.cit, h. 268.
[25] Ibid, h. 269.
[27] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, op.cit, h. 45.
[28] Ibid, h. 49.
[29] Ibid, h. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar