TUGAS BERSTRUKTUR DOSEN PENGASUH Lembaga
Keuangan Non Bank Farid Aulia Rahman
“Pegadaian”
Oleh
Kelompok
1
Adnan 1101160259
Norlaila
Hayati 1101160228
Nurhidayah
1101160232
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
BANJARMASIN
2013
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala Puji Bagi
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, shalawat dan salam kita haturkan
kepada junjungan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan para sahabat beliau,
serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah,
atas karunia dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat disusun dan diselesaikan berdasarkan waktu yang telah diberikan. Makalah
ini berjudul “Pegadaian”.
Dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak selaku dosen pengasuh
mata kuliah Lembaga Keuangan Non Bank yang telah memberikan pengetahuan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca bisa memberikan
kritik dan saran-saran yang membangun dan memotivasi penulis untuk lebih baik lagi dalam membuat makalah.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca maupun yang menulis. Amin yarabbal a’lamiin.
Banjarmasin,
05 oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan produk-produk yang berbasis syariah dibidang lembaga
keuangan semakin marak sekarang ini, tidak terkecuali dengan pegadaian.
Pegadaian pun mengeluarkan produk yang berbasis syariah, yang mana sering
disebut sebagai pegadaian syariah. Pegadaiaan syariah memiliki karakteristik
yang berbeda dengan pegadaian umum (konvensional), karakteristik tersebut
sebagaimana yang tertera dalam prinsip syariah mengenai lembaga keuangan, yaitu
tidak adanya praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip syariah seperti
riba, gharar, dan maisir.
Guna menghindari praktik-praktik yang diharamkan dalam prinsip
islam, maka dalam operasional kegiatan pegadaian syariah menggunakan dua akad,
yaitu akad rahn dan akad ijarah. Dengan menggunakan dua akad tersebut kegiatan
usaha yang dijalankan oleh pegadaian syariah dinilai dapat menghindari
praktik-praktik yang diharamkan.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
apa
pengertian pegadaian dan pegadaian syariah?
2.
Apa
landasan hukum pegadaian syariah?
3.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan pegadaian secara umum dan khusus (syariah)?
4.
Apa
saja jenis-jenis akad di dalam pegadaian syariah?
5.
Bagaimana
mekanisme kerja pada pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Lembaga Keuangan Non Bank”
yang diberikan oleh dosen pengasuh dan untuk mengetahui berbagai pengetahuan
tentang “Pegadaian” yang akan dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pegadaian
Pegadaian adalah
salah satu lembaga keuangan bukan bank di Indonesia yang mempunyai aktifitas
pembiayaan kebutuhan masyarakat, baik bersifat produktif maupun konsumtif,
dengan menggunakan hukum gadai. Pada dasarnya transaksi pembiayaan yang
dilakukan oleh pegadaian sama dengan prinsip pinjaman melalui lembaga
perbankan, namun yang membedakannya adalah dasar hukum yang digunakan yaitu
hukum gadai.[1]
Pegadaian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150
disebutkan: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
oleh oranng lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada oran yang
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
untuk melelag barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan.”[2]
Dalam perspektif islam, pegadaian (gadai) dalam bahasa Arab disebut
rahn. Secara bahasa, rahn berarti ‘tetap dan lestari’, sedangkan menurut
istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara
hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus.[3]Menurut
ulama fikih gadai (rahn) adalah menjadikan barang sebagai jaminan utang
yang dapat dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak
bisa mengembalikan utangnya. [4]
Menurut ulama Syafi’iyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang
biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang
tidak sanggup membayar utangnya. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, rahn adalah
suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
Jadi, gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat
materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga
pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.[5]
2.
Landasan Hukum Pegadaian Syariah
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat
Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad saw., ijma’ ulama, dan fatwa MUI.[6]
a)
Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar dalam membangun
konsep gadai adalah sebagai berikut:
“jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
b)
Hadits Nabi Muhammad saw
Dasar hukum yang kedua untuk
dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadis Nabi
Muhammad saw.:[7]
“Dari Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw membeli makanan dari orang Yahudi dengan
cara ditangguhkan pembayarannya, kemudian Nabi menggadaikan baju besinya”.
c) Ijma’ Ulama
Jumhur ulama menyepakati kebolehan
status hukum gadai. Berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw yang menggadaikan
baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga
mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw tersebut, ketika beliau
beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada
seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw yang
tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun
harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw kepada mereka.[8]
d) Fatwa Dewan Syariah Nasional
Fatwa Dewan Sayariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan
gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:[9]
1) Fatwa DSN-MUI No:
25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn;
2) Fatwa DSN-MUI No:
26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas;
3) Fatwa DSN-MUI No:
09/DSN-MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Ijarah;
4) Fatwa DSN-MUI No:
10/DSN-MUI/IV/2000, tentang Wakalah;
5) Fatwa DSN-MUI No:
43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Rugi.
Adapun rukun dan syarat gadai (rahn) adalah sebagai berikut:[10]
a.
Rukun
Gadai (Rahn)
1)
Orang
yang menggadaikan (rahin).
2)
Yang
meminta gadai (murtahin).
3)
Barang
yang digadaikan (marhun/rahn).
4)
Utang
(marhun bih).
5)
Ucapan
shighah ijab dan qabul.
b.
Syarat
Gadai (Rahn)[11]
1)
Rahin dan murtahin
Pihak-pihak
yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahn dan murtahin,
harus mempunyai kemampuan yaitu berakal sehat.
2)
Shighah (akad)
Shighah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu
di masa mendatang.
3)
Marhun
bih (utang)
Harus
merupakan hak yang wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan
memungkinkan pemanfaatannya.
4)
Marhun (barang)
Menurut
ulama Syafi’iyah gadai bisa sah dengan terpenuhinya 3 syarat:
a)
Harus
berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
b)
Penetapan
kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c)
Barang
yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai.
c.
Syarat-Syarat
Barang Rahn
1)
Harus
bisa diperjualbelikan.
2)
Harus
berupa harta yang bernilai.
3)
Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram.
4)
Harus
diketahui keadaan fisiknya.
5)
Harus
dimilika oleh rahn, setidaknya harus atas seizin pemiliknya.
3.
Sejarah dan Perkembangan Pegadaian Secara Umum dan Khusus
Usaha
Pegadaian di Indonesia dimulai pada zaman penjajahan Belanda (VOC) di mana pada
saat itu tugas pegadaian adalah membantu masyarakat untuk meminjamkan uang
dengan jaminan gadai. Pada mulanya usaha ini dijalankan oleh pihak swasta,
namun dalam perkembangan selanjutnya usaha pegadaian ini diambil alih oleh
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian dijadikan perusahaan negara, menurut
undang-undang pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan status Dinas
Pegadaian.
Dalam
sejarah dunia usaha pegadaian pertama kali dilakukan di Itali. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya meluas ke wilayah-wilayah Eropa lainnya seperti
Inggris, Prancis, dan Belanda. Oleh orang-orang Belanda lewat pihak VOC usaha
pegadaian dibawa masuk ke Hindia Belanda.
Di
zaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih usaha Dinas
Pegadaian dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN)
Pegadaian berdasarkan Undang-Undang No.19 Prp. 1960. Perkembangan selanjutnya
pada tanggal 11 Maret 1969 berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1969
PN Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Kemudian pada tanggal
10 April 1990 berdasarkan peraturan Pemerintah N0.10 Tahun 1990 Perjan
Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Sampai saat ini
lembaga yang melakukan usaha berdasarkan atas hukum gadai hanyalah Perum
Pegadaian.[12]
Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1990 diubah menjadi Peraturan Pemerintah N0. 103 Tahun
2000 tentang pegadaian. Aturan ini menandai kedinamisan ruang gerak pegadaian
dalam menjalankan usaha dalam status sebagai Perusahaan Umum dengan mengemban
misi, yaitu:[13]
1)
Turut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan bidang keuangan lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Menghindarkan
masyarakat dari gadai gelap, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Adapun
pegadaian syariah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kemauan warga
masyarakat Islam untuk melaksanakan transaksi akad gadai berdasarkan prinsip
syariah dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan praktik ekonomi dan lembaga
keuangan yang sesuai dengan nilai dan prinsip hukum Islam.[14]
Besarnya
permintaan warga masyarakat terhadap Perum Pegadaian membuat lembaga-lembaga
keuangan syariah juga melirik kepada sektor pegadaian, sektor yang dapat
dikatakan agak tertinggal dari sekian banyak lembaga keuangan syariah lainnya.
Melihat semakin berkembang permintaan warga masyarakat dan pola bisnis berbasis
syariah di Indonesia, Perum Pegadaian tertarik untuk menerapkannya.[15]
Fungsi
operasi pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang Pegadaian
Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah
binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis
mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai
konvensional. Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama
Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun
2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makassar, Semarang,
Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di
tahun yang sama pula, 4 kantor cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi
Pegadaian Syariah.[16]
Beberapa
bank umum syariah yang ada di Indonesia pun telah terjun di pasar pegadaian
dengan menjalankan prinsip syariah. Ada bank syariah yang bekerja sama dengan
Perum Pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai Syariah di beberapa kota di
Indonesia dan beberapa bank umum syariah lainnya menjalankan kegiatan pegadaian
syariah sendiri.[17]
4.
Jenis-jenis Akad dalam Pegadaian Syariah
Ada beberapa jenis akad dalam pegadaian syariah, yaitu:
a)
Akad
Qard Al-Hasan
Akad
qard al-hasan adalah suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai dengan
pihak penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk
mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif.[18]
b)
Akad
Mudharabah
Akad
mudharabah adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak pemberi gadai (rahin)
dengan pihak penerima gadai (murtahin). Pihak pemberi gadai atau orang
yang menggadaikan harta benda sebagai jaminan untuk menambah modal usahanya
atau pembiayaan produktif.[19]
c)
Akad
Ba’i Muqayyadah
Akad
ba’i muqayyadah adalah akad yang dilakukan oleh pemilik sah harta benda barang
gadai dengan pengelola barang gadai agar harta benda dimaksud, mempunyai
manfaat yang prosuktif.[20]
d)
Akad
Ijarah
Adalah
akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu,
yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat
barang.[21]
e)
Akad
Musyarakah Amwal Al-‘Inan
Akad
musyarakah amwal al-‘inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan
antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk
berbagai hasil, berbagai kontribusi, berbagai kepemilikan, dan berbagai resiko
dalam sebuah usaha.[22]
5.
Mekanisme Kerja pada Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah
Dalam
pegadaian konvensional, obyek yang digadaikan biasanya terdiri dari emas dan
perhiasan lainnya. Meskipun perhiasan berlian kurang diminati oleh pegadaian,
karena beberapa faktor dalam prakteknya yaitu adanya penipuan. Jadi yang lebih
diminati adalah emas, karena lebih mudah ditandai keasliannya. Selain
perhiasan, diterima pula kendaraan seperti mobil, motor, dan lain-lain meskipun
tetap yang lebih disukai adalah emas.[23]
Seperti
diketahui bahwa menariknya peminjaman uang dipegadaian disebabkan prosedurnya
yang mudah, cepat dan biaya yang dikenakan relatif ringan. Di samping itu,
biasanya Perum Pegadaian tidak begitu mementingkan untuk apa uang tersebut
digunakan. Yang penting setiap proses peminjaman uang di pegadaian haruslah
dengan jaminan barang-barang tertentu. Secara garis besar proses atau prosedur
peminjaman uang di Perum Pegadaian dapat dijelaskan berikut ini.[24]
a.
Nasabah
datang langsung ke bagian informasi untuk memperoleh penjelasan, tentang
pegadaian, misalnya tentang barang jaminan, jangka waktu pengembalian, jumlah
pinjaman, dan biaya sewa modal (bunga pinjaman).
b.
Bagi
nasabah yang sudah jelas dan mengetahui prosedurnya dapat langsung membawa
barang jaminan ke bagian penaksir untuk ditaksir nilai jaminan yang diberikan. Pemberian
barang jaminan disertai bukti diri seperti KTP atau surat kuasa bagi pemilik
barang yang tidak dapat datang.
c.
Bagian
penaksir akan menaksir nilai jaminan yang diberikan, baik kualitas barang
maupun nilai barang tersebut, kemudian barulah ditetapkan nilai taksir barang
tersebut.
d.
Setelah
nilai taksir ditetapkan langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah pinjaman
beserta sewa modal (bunga) yang dikenakan dan kemudian diinformasikan ke calon
peminjam.
e.
Jika
calon peminjam setuju, maka barang jaminan ditahan untuk disimpan dan nasabah
memperoleh pinjaman, berikut surat bukti gadai.
Kemudian
untuk proses pembayaran kembali pinjaman baik yang sudah jatuh tempo maupun
yang belum dapat dilakukan sebagai berikut:[25]
a.
Pembayaran
kembali pinjaman berikut sewa modal dapat langsung dilakukan di kasir dengan
menunjukkan surat bukti gadai dan melakukan pembayaran sejumlah uang.
b.
Pihak
pegadaian menyerahkan barang jaminan apabila pembayarannya sudah lunas dan
diserahkan langsung ke nasabah untuk diperiksa kebenarannya dan jika sudah
benar dapat langsung dibawa pulang.
c.
Pada
prinsipnya pembayaran kembali pinjaman dan sewa modal dapat dilakukan sebelum
jangka waktu pinjaman jatuh tempo. Jadi si nasabah jika sudah punya uang dapat
langsung menebus jaminannya.
d.
Bagi
nasabah yang tidak dapat membayar pinjamannya, maka barang jaminannya akan
dilelang secara resmi ke masyarakat luas.
e.
Hasil
penjualan lelang diberitahukan kepada nasabah dan seandainya uang hasil lelang
setelah dikurangi pinjaman dan biaya-biaya masih lebih akan dikembalikan ke
nasabah.
Sedangkan
pada pegadaian syariah, proses pinjam-meminjamnya masih sama dengan
konvensional. Secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja,
bunga yang dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya
penitipan pada pegadaian syariah.[26]
Mekanisme
penyaluran pinjaman pada pelaksanaan sistem gadai syariah mempunyai prinsip
bahwa nasabah hanya dibebani biaya administrasi dan jasa simpan harta benda
sebagai barang jaminan. Rahin menyimpan barang sebagai jaminan mempunyai
jasa atau biaya dan biaya administrasi dibebankan kepada nasabah gadai syariah.
Oleh karena itu, nasabah yang meminjam uang ke Kantor Cabang Pegadaian Syariah
hanya wajib membayar sewa simpan barang. Masa gadai dapat diperpanjang,
perpanjangan itu tidak mempunyai tambahan biaya untuk perpanjangan waktu.[27]
Pada dasarnya
orang yang menggadaikan (rahin) hartanya di kantor pegadaian untuk
mendapatkan pinjaman uang dapat melunasi pinjamannya kapan saja, tanpa harus
menunggu jatuh tempo. Namun, pemberi gadai (rahin) dapat memilih cara
pelunasan sekaligus atau mencicil utangnya. Oleh karena itu, bila masa 4
(empat) bulan telah sampai, tetapi rahin belum melunasi pinjamannya maka
dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pinjaman selama 4 bulan,
tetapi jika dalam jangka waktu yang ditetapkan rahin tidak mengambil
harta benda yang menjadi jaminan (marhun) maka pegadaian syariah akan
melakukan pelelangan atau penjualan barang gadai.[28]
Pihak pegadaian
melakukan pelelangan harta benda yang menjadi jaminan pinjaman bila rahin
tidak dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang telah ditentukan dalam
akad. Pelelangan dilakukan oleh pihak pegadaian sesudah memberitahukan kepada
rahin paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan. Pemberitahuan tersebut
dapat melalui surat pemberitahuan masing-masing alamat atau melalui telepon dan
lainnya.[29]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat ditarik
kesimpulan, bahwa pegadaian konvensional dan pegadaian syariah secara umum
tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan pada
pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.
bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa
uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa uang. Sedangkan
pegadaian syariah mendapatkan keuntungan dari penitipan barang gadaian
tersebut. Tempat penitipan inilah yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa penitipan
barang.
Daftar Pustaka
Buku:
Andri
Soemitro, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor:
Ghalila Indonesia, 2012.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2011.
Zainuddin
Ali, Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Internet:
http://nerynhaulfa.wordpress.com/2013/05/09makalah-pegadaian-syariah-vs-pegadaian-konvensional/ html.
[1]http://accaounting-media.blogspot.com/2013/05/pengertian-dan-aktivitas-usaha-pegadaian.html. diakses hari
Jum’at 04 oktober 2013, pukul 20.50 wita.
[2] Andri
Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010),
h. 387.
[3]
Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.
[4] Ismail Nawawi,
Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
h. 198.
[5]
Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah,op.cit, h. 2-3.
[6] Ibid,
h. 5.
[7]
Ismail Nawawi, Fikih
Muamalah Klasik dan Kontemporer, op.cit, h. 199.
[8]
Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah,op.cit, h. 8.
[9] Ibid,
h. 8.
[10]
Ismail Nawawi, Fikih
Muamalah Klasik dan kontemporer, loc.cit.
[11] Ibid,
h. 200.
[12] Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.
263.
[13]
Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah,op.cit, h. 11.
[16] Andri Soemitra, Bank & Lembaga
Keuangan Syariah, op.cit, h. 393.
[18] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, op.cit,
h.83.
[19] Ibid, h. 87.
[20] Ibid, h. 92.
[21] Ibid, h.97.
[22] Ibid, h. 101.
[23]http://nerynhaulfa.wordpress.com/2013/05/09makalah-pegadaian-syariah-vs-pegadaian-konvensional/ html. diakses
pada hari Sabtu 05 oktober 2013 pukul 21.30 wita.
[24]
Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, op.cit, h. 268.
[25] Ibid, h. 269.
[27]
Zainuddin Ali, Hukum
Gadai Syariah, op.cit, h. 45.
[28] Ibid,
h. 49.
[29]
Ibid, h. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar