Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Oleh: Norlaila Hayati; Norhikmah
A.
Pendahuluan
Lembaga keuangan adalah sebuah wadah
di mana terdapat jasa dalam proses mengelola keuangan untuk tujuan tertentu.
Seperti yang kita tahu, peranan lembaga keuangan dalam kehidupan terutama bank
sangatlah penting. Hal ini akibat semakin berkembangnya sistem ketataniagaan
yang mau tidak mau melibatkan lembaga keuangan atau bank di dalamnya. Namun
pesatnya perkembangan bank tidak diimbangi dengan pesatnya kesejahteraan masyarakat,
terutama masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang biasanya terdapat di
wilayah desa atau kecamatan. Pada umumnya bank konvensional sangat selektif dan
hanya berorientasi untuk mendapat keuntungan dengan sedikit resiko, oleh karenanya
masyarakat ekonomi lemah sulit untuk mendapat jasa keuangan bank.
Dalam upayanya untuk
merangkul masyarakat ekonomi lemah, pemerintah juga mengatur untuk didirikannya
Bank Perkreditan Rakyat yang lingkup kerjanya lebih terpusat pada wilayah
tertentu saja, misalnya di kabupaten, kecamatan dan desa. Hal ini bertujuan
agar semakin meratanya layanan jasa keuangan bagi seluruh masyarakat. Praktek
bunga yang diterapkan setiap bank, baik bank umum ataupun bank perkreditan
rakyat tetap menjadi andalan dalam rangka mencari keuntungan. Sistem bunga yang
diterapkan bank akhirnya mendapat respon dari kaum muslim, yang mana
sudah jelas bahwa bunga/riba adalah haram hukumnya. Maka dengan munculnya
pemikiran untuk mendirikan bank yang berprinsip syariah secara nasional
terlebih dahulu didirikan sebuah lembaga keuangan yaitu bank perkreditan rakyat
syariah pada tahun 1990. Diharapkan bahwa berdirinya bank perkreditan rakyat
syariah menjadi salah satu solusi dalam rangka melayani jasa keuangan yang
bebas dari praktek riba sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin
meningkat.
Dari paparan di atas, penulis akan
menggali lebih dalam lagi tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Pembahasan meliputi pengertian BPRS, sejarah dan perkembangan BPRS di
Indonesia, ciri-ciri BPRS, manajemen permodalan BPRS, peran BPRS dalam
pemberdayaan ekonomi umat serta hambatan perkembangan dan strategi pengembangan
BPRS di Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Sebelum penulis mendefinisikan apa itu Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS), terlebih dahulu penulis akan mendefinisikan tentang bank dan
pembiayaan. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.[1]
Sedangkan pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang
atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil. Dalam lembaga keuangan konvensional tidak menggunakan istilah
“pembiayaan” tapi istilah perkreditan. Perkreditan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.[2]
Jadi, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Yang perlu diperhatikan
adalah kepanjangan dari BPRS yang berupa Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Semua
peraturan perundang-undangan yang menyebut BPRS dengan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.[3]
2.
Sejarah dan Perkembangan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di
Indonesia
Menurut Warkum Sumitro, berdirinya BPRS di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari BPR-BPR pada umumnya. BPR yang status hukumnya disahkan melalui
Paket Kebijakan Keuangan Moneter dan Perbankan (PAKTO tanggal 27 Oktober 1998
pada hakikatnya merupakan modifikasi (model baru) dari Lumbung Desa dan Bank
Desa yang ada sejak 1980-an.[4]
Lumbung desa sebagai sistem perkreditan rakyat zaman dahulu,
dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat tani di pedesaan, karena pada waktu
itu peredaran uang belum menjangkau masyarakat tani di pedesaan sehingga
pinjaman dalam bentuk padi lebih menguntungkan dan lebih praktis daripada
pinjaman dalam bentuk uang. Selain itu pinjaman padi tidak mengganggu
kestabilan harga padi yang menjadi penghasilan utama masyarakat desa.[5]
Karena struktur ekonomi, sosial dan administrasi masyarakat desa
sudah banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari proses pembangunan, maka
keberadaan BPR tidak lagi persis sama seperti lumbung desa zaman dahulu. Namun
demikian, paling tidak keberadaan BPR pada masa sekarang dan yang akan datang
diharapkan mampu menjadi alternatif pengganti yang terbaik bagi fungsi dan
peranan lumbung desa dan Bank Desa dalam melindungi petani dari gejolak harga
padi dan resiko kegagalan dalam produksi serta ketergantungan petani terhadap
para rentenir.[6]
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas mengenai status
perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 huruf C yang berbunyi
sebagai berikut; “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.[7]
Seiring dengan bergulirnya sistem ekonomi Islam sebagai sistem alternatif dalam
mengelola perekonomian, maka kehadiran BPRS juga sangat diharapkan.[8]
Keberadaan
BPRS secara khusus dijabarkan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan
Prinsip Syariah, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir,
tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 32/4/KPPB tanggal 12
Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah.[9]
Jumlah bank dan
jumlah kantor BPRS dari tahun 2007 hingga Agustus 2013 adalah sebagai berikut:[10]
Tahun
|
Bulan
|
Jumlah
Bank
|
Jumlah
Kantor
|
2007
|
|
114
|
185
|
2008
|
|
131
|
202
|
2009
|
|
138
|
225
|
2010
|
|
150
|
286
|
2011
|
|
155
|
364
|
2012
|
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
|
156
156
156
156
158
|
364
386
390
390
401
|
2013
|
Jan
Feb
Mar
Apr
May
June
July
Aug
|
158
158
159
159
159
159
160
160
|
398
395
399
386
399
397
398
398
|
Dari tahun 2007
hingga 2012, jumlah kantor BPRS terus bertambah. Akan tetapi, pada januari 2013
jumlah kantor BPRS mengalami kemunduran dari 401 di tahun 2012 menjadi 398 di januari
2013. Dari januari 2013 hingga juli 2013 jumlah kantor BPRS mengalami pasang
surut. Hal itu disebabkan karena adanya BPRS yang bermasalah akibat tidak
dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik dan terpaksa harus ditutup.[11]
Untuk jaringan
kantor individual perbankan syariah, BPRS tidak mempunyai kantor cabang, kantor
cabang pembantu dan kantor kas. Menurut statistik perbankan syariah agustus
2013 jumlah BPRS berdasarkan lokasi untuk wilayah Kalimantan Selatan dari tahun
2007 hingga agustus 2013 ada 18 BPRS. Adapun jumlah pekerja di perbankan
syariah khususnya BPRS dari tahun 2007 hingga agustus 2013 terus meningkat, dari
2.108 sampai 4.845 pekerja. [12]
3.
Manajemen Permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Untuk mendirikan dan memiliki BPRS berdasarkan (Pasal 4) Peraturan
Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 modal yang harus disetor adalah:[13]
a.
Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok,
dan Bekasi;
b.
Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah
ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas;
c.
Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar
wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas.
Dalam mendirikan BPRS, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, antara
lain:[14]
a.
Persyaratan
Umum
1)
BPRS
yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan RI dan mendengar pertimbangan
Bank Indonesia.
2)
Bentuk
badan hukum BPRS, perusahaan daerah, koperasi dan Perseroan Terbatas (PT).
3)
Didirikan
dan dimiliki oleh Pemda, koperasi dan Perseroan Terbatas (PT).
4)
Tempat
kedudukan BPRS di kecamatan di luar ibu kota negara, ibu kota Dati I dan Dati
II.
5)
Wilayah
pelayanan mencakup desa-desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan
BPRS.
6)
Usaha
meliputi tabungan dan deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pengusaha
kecil.
7)
Modal
disetor minimal Rp 50.000.000.
8)
Penanaman
modal aktiva tidak boleh melebihi 50% dari modal sendiri.
9)
Mayoritas
direksi harus berpengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun.
b.
Permohonan
Izin Prinsip
1)
BPRS
berbentuk Perseroan Terbatas
a)
Siapkan
modal disetor minimal Rp 15.000.000 atau 30% dari total modal disetor.
b)
Siapkan
minimal dua nama yang akan dipakai BPRS dan selanjutnya mintakan persetujuan ke
Departemen Kehakiman.
2)
BPRS
tidak berbentuk Perseroan Terbatas
Menyesuaikan
diri dengan ketentuan yang telah digariskan oleh departemen terkait.
3)
Permohonan
izin prinsip
Mengajukan
permohonan tertulis dialamtkan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
a)
Rencana
akte pendirian dan Anggaran Dasar (AD) BPRS.
b)
Rencana
kerja BPRS pada tahun pertama.
c)
Daftar
calon direksi, dewan komisaris dan pengawas Syariah.
d)
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 15.000.000 pada rekening Menteri Keuangan
pada bank pemerintah, yang merupakan 30% dari modal disetor minimum dan telah
dilegalisir oleh Bank Pemerintah yang bersangkutan.
c.
Permohonan
Izin Usaha
Mengajukan
permohonan izin usaha dan diajukan ke Menteri Keuangan RI dengan melampirkan:
1)
Photocopy bukti setoran sebesar Rp 35.000.000 pada rekening Menteri Keuangan
pada bank pemerintah, yang merupakan 70% dari modal disetor minimum dan telah
dilegalisir oleh bank pemerintah bersangkutan.
2)
Copy
Anggaran Dasar (AD) BPRS yang telah disahkan Menteri Kehakiman RI.
3)
Photocopy
NPWP BPRS.
4)
Menyampaikan
prosedur dan sistem tata kerja BPRS disertai warkat yang akan digunakan.
5)
Mengirimkan
data pengurus BPRS.
6)
Photocopy
situasi dan kondisi perkantoran dan peralatan BPRS.
d.
Persiapan
Pra Opersional BPRS
BPRS yang telah memperoleh izin usaha harus ke Pemda setempat untuk
memperoleh: WDP (Wajib Daftar Perusahaan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha),
serta harus telah melakukan kegiatan opersionalnya selambat-lambatnya tiga
bulan sejak dikeluarkannya izin dimaksud. BPRS harus melakukan market
development serta membuat brosur produk bank dan mempersiapkan logo bank.
e.
Laporan
Pembukuan
Laporan pembukuan BPRS pada hari pertama operasi harus dilaporkan
kepada Bank Indonesia setempat dengan melampirkan Neraca Awal.
4.
Peran BPRS dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Tujuan pendirian BPRS antara lain:[15]
a.
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.
b.
Mengurangi
urbanisasi.
c.
Menambah
lapangan kerja, terutama di kecamatan-kecamatan.
d.
Meningkatkan
pendapatan perkapita.
e.
Membina
semangat ukhuwah islamiah melalui kegiatan ekonomi.
f.
Diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan perbankan bagi masyarakat pedesaan.
g.
Menunjang
pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan.
h.
Melayani
kebutuhan modal dengan prosedur pemberian kredit yang mudah dan sederhana.
i.
Menampung
dan menghimpun tabungan masyarakat. Dengan demikian BPRS dapat turut
memobilisasi modal untuk keperluan pembangunan dan turut mendidik rakyat dalam
berhemat dan menabung; dengan menyediakan tempat yang dekat, aman dan mudah
untuk menyimpan uang bagi penabung kecil.
BPRS sangat berperan dalam memperdayakan ekonomi umat dengan
mengembangkan ekonomi golongan lemah yaitu dengan mengembangkan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM). Seperti BPRS Kaffaalatul Ummah di Sumatera utara
yang menyalurkan dananya kepada pengusaha kecil tiap tahunnya terus meningkat.
Adanya pemberian dana oleh BPRS Kaffaalatul Ummah memberikan kontribusi yang
positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Meningkatnya dana yang
disalurkan dan pendapatan pengusaha kecil ini juga berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan tenaga kerja usaha kecil. Hal ini berarti dengan adanya pemberian
dana oleh BPRS Kaffaalatul Ummah pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap
terjadinya pengembangan wilayah pada daerah tersebut.[16]
Selain mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), BPRS
juga membiayai sektor pertanian. Seperti BPRS Al-Barokah Depok yang terlibat
aktif dalam pembiayaan sektor pertanian. Bagi bank syariah menengah kecil ini,
sektor pertanian layak untuk dibiayai. Pembiayaan bagi sektor ini dinilai bisa
membantu peningkatan perekonomian petani. Menurut Nurrochim, saat ini baru
beberapa petani yang mendapatkan pembiayaan dari BPRS. Meski demikian, BPRS akan
terus mendorong pembiayaan pertanian.[17]
5.
Hambatan Perkembangan dan Strategi Pengembangan BPRS di Indonesia
Sebagai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil, BPRS memiliki
beberapa hambatan dalam perkembangannya. Pertama, manajemen bank yang
kurang profesional. Kedua, risiko yang lebih besar atau ketidakpastian
yang lebih tinggi dibandingkan dengan BPR konvensional. Ketiga, jaringan
operasi yang terbatas, khususnya transaksi sesama bank syariah. Jumlah BPRS di
Indonesia masih sangat terbatas sehingga menghambat pengembangannya. Bank syariah
tidak dapat melakukan transaksi dengan bank konvensional dengan sistem bunga.
Konsekuensinya adalah bank syariah tidak dapat memberikan pelayanan yang luas
kepada masyarakat, tidak dapat melakukan kerjasama antar bank syariah, tidak
dapat melakukan transaksi penempatan antar bank syariah, dan sulit mengatasi
likuiditas.[18]
Adapun strategi pengembangan BPRS yang perlu diperhatikan, yaitu:[19]
a.
Sosialisasi
BPRS, bukan hanya dari produknya, tetapi juga sistem yang digunakan. Hal ini
bisa dilakukan dengan memberikan informasi melalui media massa. Selain itu,
BPRS juga bisa bersosialisasi melalui kerjasama dengan lembaga pendidikan atau
non-pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPRS.
b.
Mengadakan
pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah sebagai wujud
meningkatkan kualitas SDM. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan
lembaga keuangan syariah atau kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan
syariah.
c.
Pemetaan
potensi dan optimalisasi ekonomi daerah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan BPRS mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula
dapat dilihat kesinambungan kerja BPRS dengan BMT.
d.
Mengadakan
kegiatan rutin keagamaan sebagai wujud meningkatkan kesadaran masyarakat akan
peran Islam dalam bidang ekonomi. Hal ini pun dapat membantu dalam mengetahui
gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada.
Dalam rangka mengembangkan BPRS, terbentuk suatu badan yang
menyelenggarakan pendidikan dan memberikan technical assistance untuk
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang baru tumbuh, yaitu yayasan ISED (Institute
for Syariah Economic Development) dan Yayasan Pendidikan dan Pengembangan
Bank Syariah (YPPBS).[20]
Yayasan YPPBS merupakan suatu bentuk kerjasama antara Bank Muamalat
Indonesia dengan ICMI.[21]
Yayasan ini dibentuk dalam rangka membantu perkembangan dan penyebaran BPR-BPR
Syariah di seluruh tanah air. Adapun
kegiatan YPPBS meliputi:[22]
a.
Membantu
proses pendirian.
b.
Memberikan
technical assistance.
c.
Pendidikan
basic untuk para sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi, maupun intermediate
bagi para praktisi yang telah memiliki minimal dua tahun pengalaman di sektor
perbankan.
Yayasan ISED
secara berkesinambungan akan terus melaksanakan program pendirian/pemberian
bantuan teknis pendirian BPR-BPR Syariah di Indonesia, khususnya daerah yang
potensial. Beberapa program yang telah dilaksanakan berupa bantuan teknis bagi
pendirian BPR-BPR Islam di berbagai tempat di Indonesia seperti BPR Islam
Amanah Ummah (Kec. Leuwiliang, Bogor), BPR Islam Bina Amwalul Hasanah (Kec.
Sawangan, Bogor) dan sejumlah proyek lainnya, antara lain Sulawesi Selatan,
Cianjur, Aceh dan lainnya.[23]
C.
Penutup
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai BPRS dalam makalah
ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahannya baik dari
kesalahan penulisan, rangkaian kalimat dan penyusunan makalah. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang
diharapkan oleh para pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah lembaga
perekonomian umat, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang
berhubungan dengan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharap kepada para pembaca
dan dosen pembimbing mata kuliah ini dapat memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan bagi pembaca.
Daftar
Pustaka
Buku
Burhanuddin Susanto, Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta, UII Press Yogyakarta, 2008,
cet. Ke-1.
M. Ma’ruf Abdullah, Hukum
Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Banjarmasin, Antasari
Press, 2006.
Muhammad, Lembaga-Lembaga
Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta, UII Press Yogyakarta, 2000.
M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah
Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta, Ekonisi,
2008, cet. Ke-2.
Ahmad Rodoni & Abdul Hamid, Lembaga
Keuangan Syariah, Jakarta, Zikrul Hakim, 2008, cet. Ke-1.
Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2004, cet. Ke-4.
Zubairi Hasan, Undang-Undang
Perbankan Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009.
Internet
http://deskripsi.com/singkatan/icmi.html. Diakses pada 21 september 2013, pukul 11.47 wita.
http://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/.html. Diakses pada 19 september 2013, pukul 21.30 wita.
http://www.managementaccountingsystems.com/129/bpr-syariah-fokus-melayani-ukm-usaha-mikro-dan-kecil-dengan-prinsip-ekonomi-Islam.html.
Diakses pada 21 september 2013, pukul 12.03 wita.
Arwin Harahap, Peranan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah dalam Meningkatkan Pendapatan Usaha Kecil serta Hubungannya
Terhadap Pengembangan Wilayah, http://digilib.uin-suka-ac.id,html.
Diakses pada hari sabtu 26 oktober 2013, pukul 12.25 wita.
http://www.bi.go.id.html. Diakses pada hari sabtu 26 oktober 2013, pukul 11.00 wita
http://www.ekonomisyariah.org.html.
Diakses pada Minggu 27 Oktober 2013, pukul 6.56 wita.
http://koran.republika.co.id/koran/17,html. Diakses pada Rabu 16/10/2013, pukul 18.56 wita
[1] Zubairi Hasan,
Undang-Undang Perbankan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2009), h. 6
[2] Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.
78
[3] Zubairi Hasan,
Undang-Undang Perbankan Syariah, op.cit., h. 7
[4] M. Ma’ruf
Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h. 88
[5] Warkum
Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 125
[6] Ibid.,
126
[7]
Ahmad Rodoni
& Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim,
2008), h. 40
[8] M. Ma’ruf
Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, op.cit.,
h.89
[9] Ahmad Rodoni
& Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, loc.cit.
[13] Burhanuddin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2008), h.189
[14] Ahmad Rodoni
& Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, op.cit., h.41-43
[15] Ibid.,
h. 43-44
[16] Arwin Harahap, Peranan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah dalam Meningkatkan Pendapatan Usaha Kecil serta
Hubungannya Terhadap Pengembangan Wilayah, http://digilib.uin-suka-ac.id,html. Diakses pada hari sabtu 26
oktober 2013, pukul 12.25 wita.
[18]
M. Syafi’I
Antonio, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
(Yogyakarta: Ekonisi, 2008), h. 124-125
[19] http://witchnclown.wordpress.com/2013/01/19/bpr-syariah/.html. Diakses
pada 19 september 2013, pukul 21.30 wita.
[20] Ahmad Rodoni
& Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, op.cit., h. 48
[21] ICMI adalah
Ikatan Cendekiawan Musllim Indonesia. ICMI adalah organisasi yang menghimpun
cendekiawan muslim Indonesia. http://deskripsi.com/singkatan/icmi.html. Diakses pada
21 september 2013, pukul 11.47 wita.
[22] Ahmad Rodoni
& Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, loc.cit.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar